REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar hukum pidana, Abdul Fickar Hadjar, menilai KPK telah melanggar hukum dengan menandatangani mundur perjanjian kerjasama terkait tes wawasan kebangsaan (TWK). Dia mengatakan, langkah itu merupakan tindakan manipulasi yang memiliki konsekuensi hukum pidana.
"Apalagi jika itu dimaksudkan untuk mengcover peristiwa-peristiwa masa lalu yang merugikan orang lain," kata Abdul Fickar Hadjar di Jakarta, Senin (26/7).
Abdul Fickar menegaskan, langkah itu artinya juga merupakan sebuah kebohongan. Dia melanjutkan, perbuatan itu bertentangan dengan pasal 242 KUHP yang mengatur soal keterangan palsu atau kebohongan yang diberikan oleh seseorg yang keterangannya, khususnya tentang waktu berlakunya sebagai keterangan palsu.
"Itu artinya kebohongan waktu dan ada ancaman 7 tahun penjara," katanya.
Sebelumnya, Ombudsman menemukan sejumlah kecacatan administrasi dalam seluruh proses pelaksanaan TWK bagi pegawai KPK. Salah satunya adalah penggunaan tanggal mundur dalam nota kesepahaman pengadaan barang/jasa melalui swakelola antara Sekjen KPK dan Kepala BKN.
MoU itu ditandatangani pada 8 April 2021 dan kontrak swakelola KPK dan BKN ditandatangani pada 26 April 2021. Namun, nota kesepahaman itu dibuat tanggal mundur menjadi 27 Januari 2021.
Ombudsman juga menemukan maladministrasi lain di samping MoU yang ditandatangani mundur tersebut. Secara garis besar, temuan Ombudsman mendapat sejumlah kecacatan administrasi dalam pelaksanaan TWK.
Hasil pemeriskaan terkait asasemen TWK berfokus pada tiga isu utama yakni berkaitan dengan rangkaian proses pembentukan kebijakan peralihan pegawai KPK menjadi ASN. Pemeriksaan kedua, berkaitan dengan proses pelaksanaan dari peralihan pegawai KPK menjadi ASN. Pemeriksaan ketiga adalah pada tahap penetapan hasil asasemen TWK.