Senin 26 Jul 2021 19:03 WIB

Kasus Aktif, Positivity Rate, dan Angka BOR di DKI Menurun

Namun, menurut Anies, masih terlalu dini menyebut puncak kasus Covid telah terlewati.

Red: Andri Saubani
Tenaga kesehatan memeriksa kadar oksigen warga sebelum menerima vaksin Covid-19 di Universitas Nasional, Jakarta, Senin (26/7). Laju penularan kasus Covid-19 di Jakarta saat ini mulai mengalami penurunan. (ilustrasi)
Foto:

Pada Ahad (25/7), Anies juga mengungkapkan, persentase kasus positif Covid-19 atau positivity rate di Ibu Kota saat ini mulai menunjukkan penurunan. Anies menyebut, berdasarkan data per tanggal 24 Juli 2021, angka positivity rate di Jakarta sebesar 24 persen.

Anies menuturkan, angka positivity rate sempat melonjak hingga mencapai 43 persen pada tanggal 13 Juli 2021, dimana penambahan kasus harian positif Covid-19 sebesar 12.182 kasus. Kemudian, sambungnya, tren positivity rate itu mulai menurun menjadi 41 persen pada 16 Juli.

“Lalu turun lagi menjadi 36 persen di tanggal 18 Juli, lalu turun menjadi 28 persen di tanggal 21 Juli. Dan hari ini, per kemarin itu angkanya 24 persen. Jadi ada tren positivity rate yang menurun,” kata Anies dalam webinar melalui Zoom, Ahad (25/7).

Selain itu, Anies mengatakan, tingkat testing di Jakarta juga selalu tinggi. Dia menjelaskan, Kementerian Kesehatan mengharuskan pelaksanaan testing 15 kali lebih tinggi daripada standar yang ditetapkan oleh World Health Organization (WHO). Namun, kata dia, DKI Jakarta sudah melampaui itu, bahkan beberapa kali testing yang dilakukan sudah di atas 30 kali standar WHO.

“Dengan begitu kami cukup yakin atas angka positivity rate itu. Jadi kalau Anda menyaksikan angka positivity rate turun, artinya memang ada tren turun,” ujarnya.

Meski angka positivity rate menurun, Anies menegaskan agar masyarakat tidak langsung menyimpulkan bahwa puncak kasus gelombang kedua virus corona ini telah terlewati. Sebab, menurut dia, untuk mengetahui hal tersebut dibutuhkan waktu beberapa pekan.

“Jadi menurut saya, kita jangan buru-buru menyimpulkan. Karena ini berbeda dengan aliran arus lalu lintas yang bisa diprediksi jam-jaman. Kalau ini waktunya perlu mingguan,” jelas dia.

”Saya mohon kepada teman-teman untuk jangan kemudian menyimpulkan sudah lewat puncak (kasus Covid-19), karena nanti itu baru minggu-minggu depan baru kita simpulkan itu. Tapi sekarang angka positivity rate dari hari ke hari menunjukan penurunan,” sambungnya menjelaskan.

Sebelumnya, Dinas Kesehatan DKI Jakarta mencatat, per tanggal 24 Juli 2021, penambahan kasus harian positif Covid-19 di Ibu Kota sebesar 8.360 kasus. Adapun jumlah kasus aktif di Jakarta turun sebanyak 6.413 kasus.

“Sehingga jumlah kasus aktif sampai hari ini sebanyak 73.222 orang yang masih dirawat/isolasi,” kata Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinkes DKI Jakarta, Dwi Oktavia dalam keterangan tertulis resminya, Sabtu (24/7).

Sementara itu, total kasus konfirmasi positif Covid-19 sebesar 786.880 kasus. Dari jumlah ini, total orang yang dinyatakan telah sembuh mencapai 702.447 kasus dengan tingkat kesembuhan 83,9 persen. Sedangkan total orang yang meninggal dunia sebanyak 11.181 dengan tingkat kematian 1,4 persen.

“Untuk positivity rate atau persentase kasus positif sepekan terakhir di Jakarta sebesar 25,7 persen,” tutur dia.

Pakar Epidemiologi Universitas Airlangga Surabaya, dr. Windhu Purnomo menilai penerapan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) tidak memberikan dampak signifikan terhadap pengendalian Covid-19 di Jawa dan Bali. Windhu menjelaskan, jika sampai saat ini angka positivity rate di Jawa dan Bali masih sangat tinggi dari standar maksimal 5 persen.

Angka positivity rate di Jawa-Bali, kata dia, hingga 24 Juli masih di atas 30 persen. Ia merinci, untuk Banten berada di angka 37 persen. Lalu DKI Jakarta 40 persen, Jawa Barat 43 persen, Jawa Tengah 42 persen, Yogyakarta 44 persen, Jawa Timur 42 persen, dan Bali 32 persen.

"Padahal standarnya tidak lebih dari lima persen. Artinya sejak diberlakukannya PPKM tidak memberi dampak apa pun karena risikonya masih tinggi," kata Windhu dikonfirmasi Ahad (25/7).

Windhu menjelaskan, risiko yang sangat tinggi itu sesuai dengan angka kasus harian yang masih tinggi. Di tambah, masih banyak rumah sakit (RS) rujukan dan RS darurat yang terisi penuh. Windhu mengatakan, hal itu diperparah dengan catatan angka kematian yang juga masih tinggi.

Windhu berpendapat, tingginya angka kasus teraebut disebabkan masih tingginya mobilitas masyarakat. Meskipun, upaya yang dilakukan melalui penerapan PPKM Darurat sudah agak menurunkan mobilitas masyarakat.

"Mobilitas masyarakat masih tinggi. Harusnya orang yang tinggal di rumah itu 70 persen sedangkan yang 30 persen adalah yang bekerja di sektor esensial dan kritikal," ujarnya.

Maka dari itu, lanjut Windhu, jika substansi penerapan PPKM Level 3-4 masih tidak berdampak signifikan, sebaiknya tidak dilakukan sama sekali. Sebab, kata dia, dilakukan pun tak memberi dampak besar.

Namun, apabila ini dilanjutkan, maka perintah harus mengubah substansi PPKM dengan nilai-nilai berkaitan dengan penanganan kesehatan. Jika sesuai Undang-undang, maka perlu diterapkan karantina wilayah atau lockdown.

"Kalau mau dilanjut substansi harus diubah mumpung pemerintah menyalurkan bantuan sosial. Tapi, bansos ini harus tepat sasaran dan tepat waktu. Kemudian, bantuan jangan hanya untuk waktu beberapa hari atau seminggu maka warga tetep melakukan mobilitas. Kalau lanjut maka isinya harus di-review ulang," kata dia.

 

photo
Infografis: Kasus sembuh dan meninggal jadi rekor pekan lalu - (Republika)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement