REPUBLIKA.CO.ID, TUNIS -- Ketua Parlemen Tunisia Rached Ghannouchi pada Senin (26/7) mengatakan bahwa parlemen masih aktif bertugas. Dia mengulangi penolakannya terhadap keputusan Presiden Kais Saied untuk menangguhkan parlemen.
Pada Ahad (25/7), Presiden Tunisia Kais Saied menggulingkan pemerintahan Perdana Menteri Hichem Mechichi, serta membekukan tugas parlemen dan mengambil alih otoritas eksekutif dengan bantuan perdana menteri baru.
“Parlemen Tunisia sedang bertugas dan kami mematuhi legitimasi dan menolak kudeta,” kata Ghannouchi yang juga menjadi pemimpin Partai Islam moderat Ennahda kepada TRT.
"Sejak saat kami mendengar tentang kudeta, kami telah turun ke jalan dan kami mencoba untuk mengambil pelajaran dari Turki," tambah Ghannouchi, mengacu pada kudeta yang dikalahkan 2016 di Turki.
"Pembentukan militer Tunisia memisahkan antara politik dan militer dan membuat militer tidak tertarik untuk terlibat dalam masalah politik," ujar dia.
Ketua parlemen Tunisia menuduh media Uni Emirat Arab (UEA) berada di balik kudeta dan menargetkan gerakan Ennahda. Presiden Tunisia Kais Saied pada Minggu malam membubarkan pemerintahan Perdana Menteri Hichem Mechichi, membekukan parlemen, dan mengambil alih otoritas eksekutif dengan bantuan perdana menteri baru.
Presiden juga mempersilahkan tentara turun ke jalanan di ibu kota setelah berkonsultasi dengan Perdana Menteri Tunisia Hichem Mechichi dan Ketua Parlemen Rached Ghannouchi.
Menurut koresponden Anadolu Agency, militer dan polisi Tunisia mendirikan penghalang di jalan-jalan menuju parlemen di ibu kota Tunis untuk memisahkan antara pendukung dan penentang presiden Tunisia. Bentrokan meletus antara oposisi dan pendukung presiden di tengah bentrokan dan lempar batu di sekitar markas parlemen. Sejumlah orang mengalami cedera dalam insiden kekerasan tersebut.
Ghannouchi juga menggambarkan keputusan Saied sebagai "kudeta penuh" terhadap konstitusi Tunisia, revolusi, dan kebebasan di negara itu. Tunisia dipandang sebagai satu-satunya negara Arab yang berhasil melakukan transisi demokrasi di antara negara-negara Arab lainnya yang juga menyaksikan revolusi rakyat yang menggulingkan rezim berkuasa, termasuk Mesir, Libya, dan Yaman.