REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Banyak perusahaan di Jerman enggan mempekerjakan Muslim. Jika pun ada, banyak dari perusahaan yang meminta agar identitas muslim mereka di kesampingkan.
Hal ini diungkapkan, Hilal Akdeniz saat ia bekerja di call center manajemen aset Frankfurt. Akdeniz, yang saat itu masih sekolah, dipanggil untuk mengobrol dengan bosnya yang lantas membujuk agar ia mengubah namanya saat berbicara dengan klien di telepon.
Bosnya meminta ia mengganti nama menjadi Müller, Meier, atau Schmidt yang terdengar sebagai nama Jerman. Pasalnya, nama Turkinya akan membuat pelanggan pergi.
"Itu merampas sebagian identitas saya," kata Akdeniz dilansir dari Qantara, Selasa (27/7).
Akdeniz (41 tahun) adalah warga Jerman yang lahir, dibesarkan dan dididik di Jerman. Namun demikian, dia didorong tidak menggunakan nama aslinya.
Akdeniz bukan satu-satunya. Hal yang sama juga dialami oleh muslimah yang hendak melamar kerja. Nama Turki dan jilbab kerap menjadi alasan banyak perusahaan menolak mereka.
Menurut sebuah studi oleh Institute of Labor Economics (IZA) di Bonn, para muslimah ini harus mengajukan rata-rata sekitar empat kali lebih banyak aplikasi daripada perempuan non-Muslim untuk dipanggil wawancara. Bahkan jika mereka memiliki tingkat kualifikasi yang sama.
Beberapa bahkan menghadapi permusuhan terbuka. Misalnya pada Desember 2019, pengadilan perburuhan regional memberikan kompensasi kepada seorang ibu tunggal yang telah melamar posisi magang sebagai konsultan pajak setelah menghentikan studi universitasnya. Foto lamarannya menunjukkan dia mengenakan jilbab.
Konsultan pajak lantas menolak permohonan tersebut. Alasannya: "Saya berasumsi lamaran aplikasi Anda tidak serius dan Anda bermaksud menggunakannya untuk mendukung klaim manfaat Anda." Dia melanjutkan: "Jika Anda ingin mengajukan lamaran serius di masa depan, buang 'tutup kepala' Anda."