REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Koalisi Guru Besar Antikorupsi mendesak pemimpin di Komisi Pemerantasan Korupsi (KPK) patuh, dan menjalankan rekomendasi Ombudsman Republik Indonesia (ORI) dengan melantik 75 pegawainya yang tak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK) menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN). Kelompok gabungan para profesor tersebut juga meminta agar Presiden Joko Widodo (Jokowi), turun tangan menunjukkan keberpihakan pemerintahannya dalam kerja pemberantasan korupsi dengan memerintahkan KPK menjalankan rekomendasi Ombudsman.
“Berkenaan dengan temuan Ombudsman atas penyelenggaran TWK, maka Koalisi Guru Besar Antikorupsi merasa penting untuk menyerukan agar pimpinan KPK, segera melantik 75 pegawainya menjadi aparatur sipil negara,” begitu kata Profesor UIN Jakarta, Azyumardi Azra, dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Selasa (27/7).
Azyumardi mengatakan, hasil laporan, dan temuan Ombudsman membuktikan tudingan masyarakat selama ini. Yakni tentang adanya praktik maladministrasi, penyimpangan hukum, dan penyalahgunaan kewenangan, bahkan berpotensi pidana dalam TWK yang dilakukan pemimpin KPK terhadap para pegawainya.
Dalam TWK tersebut, berujung pada penonaktifan 75 pegawai, penyelidik, dan penyidik yang selama ini, dan sedang menangani sejumlah kasus kakap. Seperti korupsi E-KTP, Bansos, Lobster, dan skandal pajak, serta dugaan-dugaan rasuah lainnya.
“Sehingga, hal tersebut (penonaktifan) mengakibatkan roda kerja KPK, khususnya bagian penindakan, tidak lagi berjalan maksimal,” ujar Azyumardi.
Sementara dari Ombudsman, meminta kepada KPK, dan Badan Kepegawaian Negera (BKN), untuk melakukan koreksi menyeluruh terkait temuan praktik-praktik maladministrasi dalam pelaksanaan TWK tersebut. Koreksi tersebut, salah satunya dengan melantik 75 pegawai KPK yang tak lolos TWK menjadi ASN, sebelum Oktober 2021.
Azyumardi mengatakan, KPK wajib untuk melaksanakan rekomendasi Ombudsman tersebut. Sebab, kata dia, mengacu Pasal 38 ayat (1) UU Ombudsman, mewajibkan lembaga negara, taat, dan wajib hukumnya menjalankan rekomendasi dari badan pengawas pelayanan publik, dan penyelenggara negara itu.
“Jadi, masyarakat tentu tidak berharap KPK (sebagai lembaga negara penegak hukum) menggunakan dalih-dalih lain untuk menghindar dari kewajiban ini,” ujar Azyumardi.
Selain Azyumardi, sejumlah guru besar yang terlibat dalam koalisi tersebut, antara lain; Profesor Sigit Riyanto dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Profesor Marwan Mas, dari Universtis Bosowa, Profesor Supriyadi Rustad dari Universitas Dian Nuswantoro (Udinus), dan Profesor Sulistyowati Irianto, juga Profesor Franz Magnis Suseno, serta beberapa guru besar dari universitas-universita terkemuka lainnya di Indonesia.
Profesor Supriyadi menambahkan, selain mendesak KPK untuk tetap melantik 75 pegawai tak lolos TWK menjadi ASN, juga meminta kepada Presiden Jokowi untuk menunjukkan perannya selaku kepala eksekutif terkait kisruh internal di lembaha pemburu koruptor itu. “Jika pimpinan KPK juga enggan untuk melantik 75 pegawai itu, maka Presiden Joko Widodo selaku kepala negara, mesti bertindak,” ujar dia, dalam rilis yang sama.
Menurutnya, presiden dihadapkan pada dua langkah pilihan untuk menyudahi polemik kepegawaian KPK itu. Pertama, memerintahkan secara langsung Ketua KPK Firli Bahuri untuk melaksanakan rekomendasi Ombdusman tersebut. Atau yang kedua, kata dia, Presiden Jokowi mengambil alih untuk melaksanakan rekomendasi Ombudsman tersebut, dan sekaligus melantik 75 pegawai KPK menjadi ASN.
“Hal ini penting pula untuk dicatat, selaku eksekutif tertinggi, baik KPK, maupun BKN, wajib hukumnya menjalankan perintah, ataupun arahan dari presiden,” ujar Supriyadi.