REPUBLIKA.CO.ID, TOKYO — Penyiaran dalam Olimpiade Tokyo kali ini telah menetapkan standar tinggi dalam tayangan televisi mereka. Kepada penyiaran Olimpiade Tokyo berusaha untuk membuang stigma seksualitas atlet wanita. Ia menyebut Olimpiade harus mengedepankan daya tarik olahraga, bukan dari sisi seksualitasnya.
''Anda tidak akan melihat dalam liputan kami beberapa hal yang telah kami lihat di masa lalu, dengan detail dan close-up pada bagian tubuh,'' kata Kepala Eksekutif Layanan Penyiaran Olimpiade, Yiannis Exarchos, dikutip dari Japantoday, Selasa (27/7).
Walaupun Yiannis mengatakan pengetatan standar penyiaran ini akan sulit dilakukan dengan teknologi mutakhir yang digunakan. Beberapa cabang olahraga seperti voli pantai, senam, renang dan lari putri, selalu identik dengan pakaian terbuka atau seksi.
Bahkan, para pesenam dari Jerman sudah mengirim pesan perlawanan terhadap stigma seksualitas dalam olahraga. Tim Jerman sengaja mengenakan pakaian tertutup sampai menutupi seluruh bagian kaki kecuali bagian telapak. Protes lebih kuat juga telah dilakukan jauh sebelum Olimpiade dimulai.
Dalam event voli pantai di Eropa, perempuan Norwegia menolak untuk menggunakan bikini. Mereka bahkan memakai celana pendek yang ketat. Sayang, aksi tersebut membuat tim Norwegia didenda karena dianggap melanggar aturan berpakaian. Komite Olimpiade Internasional tidak mengatur aturan berpakaian untuk individu.
Karena itu, Layanan Penyiaran Olimpiade Tokyo menggunakan OBS (Open Broadcaster Software) dan mengontrol output siaran dari Tokyo sebelum ditayangkan ke seluruh dunia. ''Apa yang kami dapat lakukan adalah memastikan bahwa liputan kami tidak menonjolkan apa yang dikenakan orang dengan cara tertentu,'' tegas Yiannis.
Untuk mencapai tujuan ini, IOC langsung memperbarui 'Pedoman Penyiaran', untuk mengarahkan semua olahraga Olimpiade dan pemegang hak siar, menuju acara yang adil dan kesetaraan gender. Salah satunya adalah jangan terlalu fokus pada penampilan, pakaian dan bagian tubuh intim. Hal itu dilakukan demi menghormati integritas atlet.
Mantan atlet renang Jepang di Olimpiade Atlanta 1996, Naomi Imoto, selama ini isu gender di Olimpiade benar-benar bias. Ia menilai, banyak penyiaran yang melihat atlet wanita tidak benar-benar murni dari aspek olahraga. ''Sebagian besar juga sangat memperhatikan penampilan yang mengatakan mereka cantik atau seksi,'' kata Imoto, yang juga bekerja untuk UNICEF.
Oleh karena itu, Olimpiade Tokyo dianggap sebagai kesempatan untuk mendorong perubahan dalam masyarakat Jepang dan merangkul keragaman. Imoto berharap, media Jepang dan pejabat olahraga akan berbicara setelah Olimpiade 'tentang standar penyiaran'.
''Mereka kuat dan mereka juga cantik, tetapi mereka bukan sekadar wanita, mereka adalah atlet,'' ujar Imoto.
Pesenam wanita Jerman mengambil sikap menentang seksualitas wanita dalam olahraga mereka dengan mengenakan unitard, alih-alih bikini. Tim yang terdiri dari Sarah Voss, Pauline Schäfer, Elisabeth Seitz dan Kim Bui, mengenakan unitard selama latihan dan juga
pertandingan. Voss mengatakan, dirinya tumbuh sebagai seorang wanita, dan cukup sulit untuk membiasakan diri dengan tubuh baru sebagai atlet senam.
''Kami ingin memastikan semua orang merasa nyaman dan kami menunjukkan kepada semua orang bahwa mereka dapat mengenakan apa pun yang mereka inginkan dan terlihat luar biasa, merasa luar biasa, apakah itu dalam triko panjang atau pendek,'' kata Voss, dikutip dari DW.