REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Majelis Nasional Prancis pada 22 Juli 2021 telah mengesahkan rancangan undang-undang antiseparatisme yang dirancang untuk memerangi Islam radikal. Parlemen Prancis mengesahkan undang-undang (UU) yang dinilai kontroversial itu, meskipun ada berbagai kritik terhadapnya.
Pemerintah Prancis berpendapat UU itu diperlukan untuk mendukung sistem sekuler Prancis. Akan tetapi, para kritikus menilai UU itu melanggar kebebasan beragama.
Profesor Ilmu Politik di San Diego State University Ahmet Kuru mengatakan isi dari undang-undang tersebut dimaksudkan dan dirancang untuk memberi wewenang pemerintah dengan mengorbankan kebebasan beragama tertentu. Meskipun bahasa dalam RUU tersebut sangat netral dan tidak mengacu pada Islam atau Islam politik, namun Kuru menilai konteks politik dan prosesnya sangat berfokus pada Islam.
Bagi Kuru, pengkhususan Muslim diperjelas oleh Presiden Prancis Macron selama pidatonya pada Oktober 2020 tentang Islam. Ketika itu Macron mencoba menarik pemilih sayap kanan yang akan memilih partai sayap kanan Marine Le Pen.
Kuru menegaskan, ia hanya ingin melihat pemerintah Prancis mencapai keseimbangan yang tepat dengan umat Muslim yang kebanyakan berasal dari bekas jajahan Prancis dan keturunan mereka.
"Ya, harus ada tindakan pencegahan terhadap terorisme oleh Muslim, tetapi harus ada yang menjadi tindakan pencegahan terhadap diskriminasi, rasisme, penjajahan dan warisannya," kata Kuru, dilansir di France24, Rabu (28/7).
Undang-undang yang disebut 'Undang-Undang Penguatan Penghormatan Prinsip-Prinsip Republik' itu disetujui Majelis Nasional atau majelis rendah parlemen dengan selisih 49 suara berbanding 19 dengan lima abstain. Undang-undang tersebut meraih dukungan dari anggota parlemen di jajaran Presiden Prancis Emmanuel Macron serta partai-partai sentris lainnya.