REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Konferensi Fatwa ke-5 yang digelar Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) berakhir pada Rabu (28/7). Seluruh karya ilmiah yang telah dipaparkan oleh para pemakalah menjadi masukan sekaligus kritik bermanfaat untuk meningkatkan kekhidmatan fatwa MUI.
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Fatwa KH Asrorun Ni'am menuturkan seluruh paparan karya ilmiah sangat bermakna bagi MUI. Hal itu khususnya bagi komisi fatwa dalam ikhtiar meningkatkan kekhidmatan umat khususnya terkait fatwa.
"Komisi Fatwa melakukan proses pengkhidmatan ini dengan intensif dan dengan pendekatan keagaman yang komprehensif, yang sesuai dengan prosedur penetapan fatwa. Tidak ujug-ujug," kata dia dalam penutupan konferensi, Rabu (28/7).
Dalam kesempatan itu, Kiai Ni'am menekankan, MUI dalam konferensi ini memosisikan diri untuk mendengar, bukan menggurui atau bahkan menyalahkan. Seluruh artikel yang dipresentasikan menjadi kritik yang bermanfaat bagi MUI dalam melakukan introspeksi, koreksi dan langkah perbaikan selanjutnya.
Konferensi fatwa kali ini juga merupakan bentuk komunikasi akademik yang dibutuhkan untuk menyambung pokok-pokok pikiran yang mungkin selama ini terputus atau tidak tertautkan. Karena, menurut dia, salah satu faktor penyebab munculnya masalah, termasuk dalam aspek keagamaan, adalah komunikasi yang terputus.
"Kadang kala, dengan ideologi media yang bad news is good news, itu mengambil angle yang menarik bagi media, sehingga tidak semua proses tercover. Akibatnya pesan yang diterima oleh publik, termasuk akademisi, terputus. Maka pertemuan semacam ini menjadi bagian dari ikhtiar menyambungkan itu," kata dia.
Ni'am menambahkan, konferensi fatwa ini, selain mempertautkan ide dan gagasan serta mempertemukan ragam pemikiran, juga untuk mendudukkan fatwa MUI secara proporsional. Dia mengatakan, ada berbagai macam respons terhadap fatwa MUI.
Pertama, ada yang bisa memahami secara utuh karena memang punya latar belakang akademik yang sama. Kedua, mereka yang tidak paham sehingga perlu mendapat pemahaman dan sosialisasi. Ketiga, ada yang salah memahami sehingga pemahaman mereka perlu diluruskan.
Misalnya, saat MUI mengeluarkan fatwa kehalalan vaksin Sinovac, Ni'am menjelaskan, ada perjalanan yang panjang sebelum MUI menetapkan kehalalannya. Ada ahli yang dimintai pandangannya dengan cara pergi langsung ke China untuk mengecek langsung tempat dan proses pembuatan vaksin.
Ahli tersebut harus terlebih dulu dikarantina selama lebih dari dua pekan di sana sebelum akhirnya bisa melakukan tugasnya. "Dalam pedoman penetapan fatwa itu membutuhkan pandangan ahli," kata dia.
Ni'am mengatakan, seluruh artikel akan dibukukan dan menjadi salah satu referensi agar memiliki manfaat yang lebih luas bagi masyarakat. Semua artikel yang dipaparkan akan menjadi bahan meningkatkan kualitas kefatwaan MUI.