REPUBLIKA.CO.ID, TOKYO -- Penyelenggara Olimpiade Tokyo meminta maaf karena memesan terlalu banyak makanan untuk staf mereka pada upacara pembukaan. Beredar video truk mengangkut kotak makanan yang tak tersentuh. Video tersebut menjadi viral di media sosial. Alhasil, publik pun merespons negatif. Kritikan terhadap panitia, nyaring terdengar.
Sebelumnya, sudah ada pihak yang kontra lantaran mereka tetap menyelenggarakan kompetisi di tengah pandemi covid-19. "Kini lagi-lagi mereka mendapatkan tekanan lantaran membuang-buang makanan di stadion nasional, tempat upacara pembukaan Olimpiade berlangsung," demikian laporan Reuters, Rabu (28/7).
Alhasil ribuan kotak nasi dibuang percuma. Kabar ini sangat memalukan bagi penyelenggara. Pasalnya, kenyataan tersebut berbeda dengan salah satu misi yang didengungkan penyelenggaara. Olimpiade Tokyo menyatakan ingin meminimalkan dampak buruk dari pemborosan sumber daya.
Juru bicara Olimpiade Tokyo 2020, Masa Takaya membenarkan terjadinya surplus makanan selama acara pembukaan. Ia pun mengakui panitia perlu berbenah.
"Mulai pekan ini, upaya optimalisasi pemesanan (makanan) dilakukan di masing-masing venue. Kami menyayangkan terjadi over order yang cukup besar hingga saat ini," kata Takaya.
Namun ia memastikan, makanan yang dibuang tersebut, bisa didaur ulang. Hasilnya menjadi pakan ternak dan berbagai kegunaan lainnya.
Sebelummya, video pemborosan makanan ini memicu kegemparan di media sosial. "Ini tidak boleh terjadi. Ada orang di luar sana, yang kesusahan karena pandemi, sehingga tidak memiliki makanan yang cukup," tulisan seorang pengguna Twitter.
Salah satu tokoh di organisasi nirlaba bernama the People, Junko Hitomi menyayangkan situasi tersebut. Ia sampai tidak tahu bagaimana harus menjelaskan kekecewaannya. "Sungguh sia-sia. Saya tidak punya cara lain untuk mengatakannya," tutur Hitomi.
Sekitar 110 ribu orang sempat mendaftarkan diri menjadi relawan Olimpiade 2020. Namun pada bulan lalu, ada 10 ribu menarik diri.
Itu karena berkembangnya opini publik yang menentang berlangsungnya kompetisi ini, di tengah pandemi. Menurut data penyelenggara, ada 80 ribu voluneteers yang bekerja. Itu belum termasuk mereka yang berada di bawah pengawasan Pemerintah Tokyo.