REPUBLIKA.CO.ID, -- Febri Dayanto adalah penyandang disabilitas di Kabupaten Agam, Provinsi Sumatera Barat. Kehidupan Dayanto dan istrinya yang sama-sama tunanetra menjadi semakin sulit di masa pandemi Covid-19 ini.
Nasib Dayanto tidak jauh berbeda dengan para penyandang disabilitas di rumah singgah Kota Palu yang dipimpin Dewi Santian, pendiri Solidaritas Difabel Berkarya dan anggota Ikatan Tunanetra Muslim Indonesia (ITMI). Mereka sama-sama harus berjuang untuk hidup di tengah kesulitan ekonomi akibat pandemi Covid-19.
Dayanto bekerja sebagai musisi tunanetra di Kabupaten Agam. Untuk memenuhi kebutuhan keluarga, dia menjual keahliannya sebagai pemain keyboard piano dari panggung hajatan ke panggung hajatan.
Namun, di masa pandemi Covid-19, jumlah hajatan menurun drastis. Pesta pernikahan kini dilakukan dengan protokol kesehatan (prokes) dan tanpa kemeriahan yang disertai penampilan para musisi.
"Usaha saya bermain musik organ tunggal, sejak ada pandemi Covid-19 ini boleh dikatakan aktivitas kita menurun 75 persen," kata Dayanto saat diwawancarai Republika, Rabu (28/7).
Sebelum pandemi, Dayanto bisa tampil bersama grup organ tunggalnya lima sampai enam kali setiap bulannya di pesta pernikahan. Sejak pandemi, dia hanya bisa tampil sekali sampai dua kali saja dalam sebulan,
Ia mengatakan, di masa pandemi Covid-19 ini memang ada pembatasan sebagai bagian dari prokes pencegahan penularan dan penyebaran Covid-19. Hal ini membuat orang-orang yang akan mengadakan pesta ketakutan. Mereka takut melanggar prokes dan takut dibubarkan aparat, sehingga takut pestanya jadi kacau.
"Kondisi itulah salah satu yang menyebabkan penghasilan kita menurun 75 persen, memang bulan Agustus nanti ada satu hajatan yang ingin menyewa jasa organ tunggal kami, itu pun kalau jadi," ujar Dayanto, dengan nada kurang optimis dengan kepastian pesta tersebut di masa pandemi Covid-19.
Dalam sekali tampil siang sampai malam, organ tunggal tempat Dayanto mencari nafkah bisa mendapat bayaran Rp 3 juta. Uang tersebut dibagi untuk para personel organ tunggal yang berjumlah delapan orang.
Selama pandemi melanda negeri ini, ia mengaku hanya mampu menghasilkan uang sekitar Rp 500 ribu perbulan. Uang sebesar itu tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dirinya dan istrinya yang sama-sama penyandang disabilitas.
Sampai pada suatu masa, Dayanto memutuskan untuk menjual rumahnya. "Kebetulan dulu ada rezeki dari Allah untuk membuat rumah, sekarang di masa pandemi kita jual rumahnya," ujarnya.
Ia mengungkapkan, uang hasil menjual rumah dipakai membayar hutang, sisanya disimpan dengan cara membeli tanah agar tidak cepat habis. Dayanto dan istrinya kini tinggal di kontrakan, sambil mengharapkan kondisi perekonomian masyarakat dapat bangkit kembali.
Dayanto menegaskan, pilihannya menjual rumah karena ia enggan meminta-minta di jalan. Dia meyakini, Rasulullah SAW melarang umatnya untuk meminta-minta selagi masih mampu berusaha.
Dayanto sebagai Ketua Wilayah ITMI Sumatera Barat mewakili para penyandang disabilitas, meminta perhatian kepada pemerintah. Dia menyampaikan bahwa kondisi teman-temannya sesama penyandang disabilitas membutuhkan perhatian.
"Kami mengharapkan ke pemerintah agar lebih bisa memperhatikan kami, paling tidak samakan kami, orang yang punya kemampuan dan bisa berusaha dapat bantuan, sementara penyandang disabilitas yang kegiatannya terbatas tidak dapat bantuan," katanya.
Dayanto tidak menyalahkan pemerintah, sebagai warga negara yang baik dia berpikir positif. Mungkin pegawai pemerintah luput memasukan nama dirinya sebagai penyandang disabilitas. Sehingga tidak bisa mendapatkan bantuan langsung tunai dari pemerintah.
"Harapan kami mudah-mudahan kami (penyandang disabilitas) bisa juga mendapatkan hak kami, kalau bisa pemerintah di desa tidak melupakan kami," ujar Dayanto mewakili para penyandang disabilitas lainnya yang terlupakan.
Dewi, penyandang disabilitas di Kota Palu, Sulawesi Tengah juga mengatakan, saat ini sebenarnya bukan tidak adanya bantuan untuk penyandang disabilitas, tapi mungkin masih kurangnya kepedulian dan kepekaan pemerintah terhadap penyandang disabilitas. Sejauh ini pemerintah hanya fokus penanganan pandemi Covid-19 dan membantu masyarakat umum.
"Tapi pemerintah lupa dengan penyandang disabilitas yang benar-benar tidak bisa apa-apa, tapi mereka (penyandang disabilitas) harus menghidupi keluarganya," ujar Dewi, pendiri Solidaritas Difabel Berkarya di Kota Palu.
Ia mengatakan, kalau penyandang disabilitas datang ke dinas sosial atau pemerintah, kemungkinan tidak akan langsung mendapat bantuan. Pasti harus ada prosesnya dulu, misalnya membuat proposal. Sementara para penyandang disabilitas dan keluarganya harus makan setiap hari.