REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA – Setiap muslim yang sudah baligh dan berakal diwajibkan untuk menunaikan ibadah sholat lima waktu. Dalam melaksanakan shalat, umat Islam harus melaksankannya dengan fokus. Namun, terkadang ada beberapa kondisi yang membuat kita tidak khusyu’ dalam melaksanakannya, seperti ketika menahan kentut dan kencing.
Lalu bagaimana hukum menahan kentut atau kencing dalam shalat, apakah sholatnya sah?
Para ulama dan ahli fikih telah memberikan penjelasakan untuk menjawab persoalan tersebut, diantaranya adalah M Quraish Shihab. Ia merupakan salah seorang ulama ahli tafsir Indonesia yang menempuh pendidikannya di al Azhar Mesir Kairo.
Ulama berusia 77 tahun ini menjelaskan bahwa syarat sahnya shalat adalah terpeliharanya wudhu. Sedangkan salah satu yang membatalkan wudhu adalah keluar angin atau kentut. Jika orang yang sedang shalat tersebut menahannya, maka shalatnya tetap sah.
“Jika yang bersangkutan menahan sehingga angin tidak keluar, maka wudhunya tetap sah. Dengan demikkian, upaya menahan itu sendiri tidak membatalkan shalat,” kata M Quraish dalam bukunya yang berjudul M. Quraish Shihab Menjawab (2014, Lentara Hati).
Dia pun kemudian mengutip beberapa dalil yang mendukung pendapatnya tersebut. Menurut dia, Imam Ahmad dan Ibnu Majah meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Nabi Saw bersabda, “Tidak (perlu mengulangi) wudhu kecuali karena ada suara (buang angin) atau mendengar bunyi angin.”
Imam Muslim, Abu Dawud, dan at-Tarmidzi juga meriwayatkan bahwa Nabi Saw bersabda,
“Jika salah seorang di antara kalian merasakan ada angin (ketika dia ada) dalam masjid, maka janganlah dia keluar (untuk berwudhu), kecuali bila dia mendengar suara atau menemukan angin.”
Memang, kata M Quraish, shalat seseorang yang menahan angin atau air kecil dan besar dinilai makruh oleh ulama, karena keadaan demikian pasti mengganggu konsentrasi dan kekhusyukannya. Akan tetapi, menurut dia, hal ini tidak sampai membatalkan shalatnya.
Hal ini diperkuat oleh pendapat ahli fikih Indonesia sekaligus, KH Nur Hannan. Ketua Asosiasi Ma'had Aly Indonesia (AMALI) ini menjelaskan, selama kentut atau kencing tersebut belum keluar, maka shalat orang yang menahannya tersebut tetap dihukumi sah.
“Ini menurut kesepakatan para ulama. Hanya saja, dalam kondisi menahan kencing dan kentut ini, para ulama bukan melihat dari keabsahan shalatnya, tapi dari sisi keutamaan shalatnya,” ujar Kiai Hannan saat dihubungi Republika, Selasa (27/7).
Mudir Ma'had Aly Tebuireng ini mengatakan, umat Islam dianjurkan melaksanakan shalat dengan khuyu’ agar bisa mencapai kesempurnaan shalat. Namun, ketika menahan kentut atau kencing, maka sholatnya pasti terganggu.
Dia pun mengutip hadits yang diriwayatkan ummul mukminin, Aisyah Ra. Dari Aisyah bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Tidak ada shalat ketika makanan sudah terhidangkan, dan menahan dua hal yang paling busuk (menahan buang air besar dan kencing).” (HR. Muslim No. 559).
Menurut Kiai Hannan, para ulama berbeda pendapat dalam menjelaskan makna kata “tidak ada sholat” dalam hadits tersebut. Sebagian ulama berpendapat, kata tersebut menunjukkan bahwa menahan kentut atau kencing pada saat sholat menjadikan sholatnya tidak sah.
Sedangkan mayoritas ulama berpendapat bahwa kata “Tidak ada sholat” tersebut bukan bermakna menjadikan shalatnya tidak sah, melainkan hanya kurang sempurna.
“Maka, ‘tidak ada sholat’ ini menurut jumhur ulama dipahami bahwa sholat yang dilaksanakan ini tetap sah. Yang dimaksudkan ‘tidak ada sholat’ di dalam hadits itu adalah tidak ada kesempurnaan sholat bagi orang yang menahan kentut dan kencing,” jelas Kiai Hannan.
Lalu bagaimana cara menyikapi kondisi saat menahan kentut atau kencing dalam sholat? Apakah sholatnya perlu dibatalkan atau tetap dilanjutkan?
Menurut Kiai Hannan, para ulama setidaknya memberikan dua pilihan. Pertama, jika waktu sholatnya masih lama dan memungkinkan untuk mengulang shalatnya, maka lebih utama membaltakan sholatnya.
“Tapi ketika sholatnya dibatalkan, maka harus membuang hajatnya dulu dan kemudian mengulangi shalatnya lagi,” ujarnya.
Kedua, jika waktu shalatnya sudah hampir berakhir, maka orang yang menahan kentut atau kencing tersebut lebih utama melanjutkan shalatnya. “Misalnya dalam kondisi waktu sholat sudah sempit dan tidak cukup waktunya untuk mengulangi shalatnya, maka yang lebih utama adalah dia tetap melanjutkan sholatnya dengan menahan kentut dan kencing sebisa mungkin,” kata Kiai Hannan.