REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Aktivis Disabilitas, Surya Sahetapy, menanggapi aksi oknum TNI AU yang menginjak kepala seorang warga difabel di Papua. Menurutnya, masyarakat harus memahami kelompok disabilitas dari usia dini. Sehingga mereka tidak merasa tersisihkan.
"Untuk memahami disabilitas perlu dimulai dari pendidikan usia dini. Memperkenalkan anak non-disabilitas ke anak disabilitas. Bisa juga dengan cara sistem pertukaran pelajar sekolah disabilitas dan non-disabilitas dalam satu hari," katanya saat dihubungi Republika, Rabu (28/7).
Kemudian, ia melanjutkan pemerintah juga harus menerapkan sekolah reguler untuk memperkerjakan guru disabilitas supaya anak-anak non-disabilitas bisa memahami dan sudah terbiasa bertemu dan berinteraksi dengan orang disabilitas. "Misalnya, seperti memperkerjakan guru tuli untuk mata pelajaran bahasa isyarat. Beberapa guru disabilitas bisa mengajarkan pelajaran bahasa Inggris dan sebagainya. Selain itu, pendidikan militer dan pendidikan reguler perlu diperbaharui dengan adanya perspektif disabilitas di dalamnya," kata dia.
Ia menambahkan harus ada kebijakan untuk pendidikan militer. Seperti ada mata pelajaran bahasa isyarat dan ilmu komunikasi lainnya, sehingga bisa berinteraksi dengan disabilitas yang ragam komunikasinya seperti bahasa isyarat, mendapatkan juru bahasa isyarat yang benar, berkomunikasi dengan teknologi dan sebagainya.
"Jika pemerintah tidak menerapkan hal ini, hak kami (kelompok disabilitas) akan tertinggal seperti hak perlindungan. Diskriminasi tidak akan berhenti," kata dia.
Sebelumnya, terjadi oknum TNI AU menginjak kepala seorang warga di Papua. Kejadian tersebut menuai kecaman dan berujung permintaan maaf dari TNI. Warga yang diinjak itu adalah seorang tunawicara.
"Terkait hal tersebut info yang diterima yang bersangkutan tunawicara," kata Kepala Dinas Penerangan TNI Angkatan Udara (Kadispenau) Marsekal Pertama Indan Gilang Buldansyah, Rabu (28/7).