REPUBLIKA.CO.ID, KABUL -- Ribuan warga Afghanistan mengantre di imigrasi untuk mendapatkan paspor. Serangan Taliban yang semakin meluas ke wilayah pedesaan membuat warga Afghanistan memilih untuk pergi dari negaranya.
“Jika situasinya memburuk, kami mungkin harus pergi,” kata Abdel Khalid Nabyar (52 tahun), dilansir Aljazirah, Rabu (28/7).
Nabyar merasa menjadi pihak yang rentan menjadi korban serangan, karena dia pernah mengelola sebuah toko di pangkalan militer NATO. Menurut Nabyar, tidak semua orang memutuskan untuk segera keluar dari Afghanistan. Tetapi sebagian besar menginginkan jaring pengaman.
"Masyarakat ingin bersiap terlebih dahulu jika terjadi kesalahan,” ujar Nabyar.
Hampir setiap hari puluhan orang mulai mengantre di kantor paspor di Kabul sebelum fajar. Pada pukul 08.00 pagi waktu setempat antrean paspor sudah mengular hingga ratusan meter.
Para pelamar membawa map plastik bening yang berisi dokumen mereka. Antrean itu dijaga oleh seorang petugas polisi untuk mengendalikan para pelamar yang mencoba menerobos antrean.
Seorang pejabat imigrasi mengatakan, proses untuk mendapatkan paspor adalah hal yang normal bagi warga Afghanistan. Tetapi dalam beberapa minggu terakhir, jumlah orang yang mendaftar paspor menunjukkan peningkatan. “Kami mendapatkan sekitar 10 ribu orang per hari, sementara normalnya yaitu sekitar 2.000 orang per hari,” kata seorang petugas polisi.
Khalilullah, seorang insinyur berusia 36 tahun, tiba pada pukul 05.00 pagi bersama istri dan tiga anaknya. Dia mengantre selama lebih dari tiga jam untuk mendapatkan paspor. "Sudah ada 300 orang dalam antrian,” kata Khalilullah.
Seorang mahasiswa ilmu komputer, Zeenat Bahar Nazari (23 tahun) telah menunggu selama berjam-jam untuk mendapatkan paspor. Nazari mengatakan, ketika dirinya masih anak-anak, keluarganya mengatakan bahwa Taliban telah membunuh orang, dan membuat mereka menghilang. “Mereka melakukan kekerasan terhadap perempuan, tidak membiarkan mereka mendapatkan pendidikan dan merampas hak-hak dasar mereka," ujar Nazari.
Nazari terlalu muda untuk mengingat masa kepemimpinan Taliban dari tahun 1996 hingga 2001. Satu-satunya hal yang ketahui Taliban adalah mereka memiliki wajah teror, pertempuran, bom bunuh diri dan pertumpahan darah.
"Ketika Anda pergi ke sekolah atau universitas, Anda mengharapkan masa depan yang cerah, tetapi jika Taliban mengambil alih kekuasaan, harapan untuk masa depan yang cerah itu akan hilang," ujar Nazari.
Sebagian besar warga Afghanistan yang mengantreli, tidak tahu akan pergi ke mana jika diberi kesempatan. Sebagian besar negara mengharuskan warga Afghanistan untuk mendapatkan visa, dengan sejumlah besar dokumentasi yang diperlukan bersama dengan bukti stabilitas keuangan yang hanya dimiliki sedikit orang.
"Hidup kami dalam bahaya; kami tidak punya pilihan,” kata Sardar, 52, yang menolak disebutkan namanya karena khawatir dengan nyawanya setelah bekerja sebagai penerjemah untuk kelompok masyarakat sipil Inggris.
Penerjemah untuk pasukan asing dan kedutaan sangat rentan terhadap pembalasan Taliban. Banyak negara telah mengevakuasi ribuan orang di bawah skema visa darurat.
Mantan pegawai negeri Haji Sayed Mohammad Sultani menginginkan paspor. Dia tidak bisa membayangkan bahwa kehidupannya menjadi pengungsi lagi seperti ketika Taliban menguasai Afghanistan sebelumnya.
"Selama Afghanistan layak huni, kami tidak akan meninggalkan negara kami," kata Sultani.