REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dewan Transportasi Kota Jakarta (DTKJ) mengungkapkan, mayoritas perjalanan masyarakat dengan menggunakan kendaraan umum di Ibu Kota berasal dari wilayah penyangga atau dengan jarak di atas 20 kilometer (km).
Temuan itu berdasarkan survei yang diadakan DTKJ bersama Dinas Perhubungan (Dishub) DKI Jakarta dan PT Jaklingko terhadap 1.523 responden pengguna transportasi di Jabodetabek. Hasilnya sebanyak 31,7 persen responden melakukan perjalanan menggunakan kendaraan umum dengan jarak di atas 20 km.
"Dari sisi jarak tempuh rata-rata perjalanan yang paling banyak adalah di atas 20 kilometer atau dari daerah penyangga," kata Ketua DTKJ Haris Muhammadun dalam forum group discussion (FGD) tiga pilar integrasi dengan tema 'Masa Depan Transportasi Jakarta' di Jakarta, Rabu (29/7).
Kondisi itu, menurut dia, bisa dimaklumi karena rata-rata pengguna KRL dan kendaraan umum dari wilayah penyangga ke Jakarta rata-rata di atas 20 km. Sementara yang lainnya, sekitar 29,4 persen responden adalah pelaju berjarak 10-20 km.
Sebanyak 27,3 persen merupakan pelaju berjarak 5-10 km, dan 11,6 persen merupakan pelaku perjalanan transportasi umum di bawah lima km. Temuan itu sejalan dengan survei total waktu yang dihabiskan dalam satu kali perjalanan menggunakan transportasi umum yang terbesar.
Di antaranya, rentang 30-60 menit sebanyak 44,2 persen, disusul durasi 1-2 jam sekitar 35,6 persen. Kemudian, di bawah 30 menit sebanyak 13,2 persen, durasi 2-3 jam sebanyak 5,6 persen, dan di atas tiga jam sebesar 1,4 persen.
Dalam durasi waktu satu kali perjalanan itu, kata dia, waktu yang dibutuhkan untuk perpindahan antarmoda paling banyak berkisar 5-10 menit (46,6 persen), disusul mereka yang menghabiskan waktu 10-15 menit (21,2 persen). Berikutnya di bawah lima menit (21 persen), 15-30 menit (8,5 persen), serta 30-45 menit (1,7 persen).
Artinya, kata Haris, 87,6 persennya mengalami perpindahan antarmoda di bawah 10 menit. Waktu itu penting karena untuk melihat ada ruang yang seharusnya bisa diperbaiki untuk waktu tempuh satu moda maksimal satu sampai dua jam saja. Perpindahan antarmoda juga diharapkan bisa turun di bawah lima menit.
Hal tersebut, kata Haris, bisa tercapai dengan adanya integrasi antarmoda transportasi secara sistem dan infrastruktur. Namun demikian, integrasi mengenai tarifnya juga dibutuhkan demi menciptakan sistem transportasi yang baik dan modern seperti di kota negara maju.
Pasalnya di kota seperti itu, sambung dia, persentase pengeluaran untuk transportasi umum relatif kecil dibanding pendapatan per bulan. Biaya yang dibutuhkan untuk satu kali perjalanan transportasi umum di Jakarta berdasarkan survei itu sebanyak 36,6 persen membutuhkan Rp 5.000-10 ribu.
Lalu sebanyak 20,5 persen butuh biaya Rp 2.000-Rp 5.000, dan 18,9 persen butuh Rp 10 ribu-15 ribu, serta 12,5 persen perlu Rp 15 ribu-Rp 20 ribu. Adapun yang di atas Rp 20 ribu sebanyak 11,5 persen. Dalam survei tersebut, terungkap sebanyak 62,6 persen masyarakat mengeluarkan biaya Rp 500 ribu per bulan untuk transportasi umum.
Kemudian sekitar 25,7 persen mengeluarkan Rp 500 ribu hingga Rp 1 juta. Lalu 7,2 persen pengeluarannya sebesar Rp 1 juta-Rp 2 juta, serta sebanyak 4,9 persen mengeluarkan sebanyak Rp 2 juta.
Sementara untuk pengeluaran transportasi pribadi termasuk kendaraan pribadi, ojek daring atau ojek pangkalan dan taksi daring yang biasanya digunakan warga sebelum naik ke transportasi umum, tercatat sebanyak 45,6 persen warga mengeluarkan biaya sebesar Rp 500 ribu hingga Rp 1 juta.
Kemudian, sebanyak 34,3 persen warga mengeluarkan kurang dari Rp 500 ribu. Lalu sebanyak 14,8 persen mengeluarkan biaya Rp 1 juta hingga Rp 2 juta serta yang mengeluarkan lebih dari Rp 2 juta ada sebanyak 5,2 persen.
"Mudah-mudahan simulasi ini memberi gambaran untuk tarif integrasi yang lebih murah dari biaya saat ini. Tentu ini akan menjadi hal yang menggembirakan dan menarik untuk dilakukan," kata Haris.