REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) memperkirakan dari 20 juta jiwa anggotanya, hanya 468 ribu orang yang mendaftarkan diri untuk vaksinasi. Keterbatasan akses vaksinasi dan ketiadaan NIK menjadi kendala utama rendahnya para anggota AMAN yang mendaftar vaksinasi.
Negara berkewajiban untuk menyediakan layanan kesehatan bagi seluruh penduduk, termasuk akses pemberian vaksin dalam rangka percepatan penanganan pandemi Covid-19. Bagi masyarakat adat yang tinggal di pedalaman atau pulau terluar, kewajiban memiliki NIK menjadi sandungan signifikan untuk menjangkau vaksinasi.
"Pemerintah perlu mengambil langkah diskresi karena ini adalah masalah nyawa orang, bukan sekadar soal pilkada atau pemilu. Bagi masyarakat adat, mengurus NIK di masa normal pun susah, apalagi di masa pandemi," kata Sekjen AMAN, Rukka Sombolinggi, dalam keterangannya, Kamis (29/7).
Menurut Rukka, sebetulnya masyarakat adat bukanlah kelompok rentan. Mereka bisa hidup mandiri dan selama ini menjaga keharmonisan dan kelestarian alam, serta keragaman hayati di daerah-daerah terdalam dan terluar Indonesia.
Wilayah adat selama ini, kata Rukka, adalah lumbung pangan Indonesia. Namun, berbagai kebijakan pembangunan selama ini telah meminggirkan masyarakat adat dan membuat posisi masyarakat menjadi rentan, termasuk dalam konteks menghadapi pandemi.
Pada satu tahun pertama pandemi, lokasi yang terpencil dan relatif terisolasi, kearifan lokal membuat masyarakat adat relatif aman dari Covid-19. Namun, seiring perkembangan varian virus yang lebih dahsyat dan mudah menular, pertahanan masyarakat adat mulai jebol.
Peningkatan angka positif Covid-19 masyarakat adat cukup signifikan. Menurut AMAN, peningkatan terjadi di kawasan Aru Kayau Kalimantan Utara, Lamandau Kalimantan Tengah, Tana Toraja dan Toraja Utara Sulawesi Selatan. "Untuk detail jumlah yang positifnya belum ada karena test and tracing tidak berjalan baik di sana," kata dia menjelaskan.