REPUBLIKA.CO.ID, SEOUL -- Komite Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO) meminta Jepang menepati janjinya untuk menghormati korban kerja paksa. Negeri Sakura berjanji mendirikan pusat informasi mengenai korban kerja paksa di lokasi revolusi industri yang masuk daftar Warisan Dunia UNESCO.
Dalam sesi virtual, Komite Warisan Dunia mengadopsi resolusi kegagalan Jepang memberikan penjelasan yang cukup tentang korban kerja paksa. Para korban adalah warga Korea dan warga negara lain yang dipaksa bekerja di Jepang.
Pada Kamis (29/7) kantor berita Korea Selatan (Korsel) Yonhap melaporkan Komite Warisan Dunia mengungkapkan penyesalan atas kegagalan Tokyo memenuhi janjinya. Mereka meminta Jepang memperbaiki cara menjelaskan para korban kerja paksa.
Pada 2015, Warisan Dunia UNESCO menetapkan 23 bangunan yang dibangun pada zaman Meiji sebagai warisan dunia. Saat itu Tokyo mengatakan akan mendirikan pusat informasi untuk mengenang para korban kerja paksa
"Baik dari Korea maupun tempat lain yang dibawa tidak atas keinginan mereka dan dipaksa bekerja di bawah kondisi sulit pada tahun 1940-an di beberapa lokasi," kata Jepang ketika itu.
Keberhasilan revolusi industri Jepang kerap tidak menyinggung para korban yang menderita di fasilitas-fasilitas industri. Seperti di Pulau Hashima yang dikenal sebagai Pulau Kapal Perang di mana banyak orang Korea dipaksa bekerja di tambang batu bara.
Hingga saat ini, Jepang masih enggan melakukan rekomendasi UNESCO. Juni lalu Warisan Budaya UNESCO mengirim tim pemantau dan lembaga penasihat untuk memeriksa janji Tokyo. Dalam laporannya, tim tersebut mengatakan Jepang tidak memenuhi janji mereka. Korsel mendesak Jepang untuk memenuhi keputusan yang direkomendasikan Warisan Budaya UNESCO demi memberikan penjelasan menyeluruh di setiap lokasi.