REPUBLIKA.CO.ID, KUALA LUMPUR -- Raja Malaysia Al-Sultan Abdullah Ri'ayatuddin menolak pencabutan Ordonansi atau Peraturan Darurat yang telah diumumkan pemerintah Malaysia pada sidang parlemen Senin (26/7) lalu. Penolakan tersebut disampaikan oleh juru bicara Istana Negara Dato 'Indera Ahmad Fadil Syamsuddin dalam pernyataan pers di Kuala Lumpur, Kamis (29/7).
Raja atau Yang di-Pertuan Agong menyampaikan pernyataan kepada pemerintah atas pelaksanaan sidang parlemen yang dimulai Senin lalu. "Hal itu sejalan dengan rekomendasi dari Yang di-Pertuan Agong dalam diskusi khusus yang diadakan pada 16 Juni 2021 agar parlemen dapat diadakan sebelum berakhirnya darurat," katanya.
Raja menegaskan bahwa dalam pemerintahan Monarki Konstitusional dan sistem Demokrasi Parlementer berdasarkan prinsip supremasi konstitusi, semua pihak harus tunduk pada supremasi hukum. Pasal 150 (2B) dibaca dengan Pasal 150 (3) Konstitusi Federal dengan jelas menyatakan bahwa kekuasaan untuk memberlakukan dan mencabut Undang-Undang Darurat berada pada Yang di-Pertuan Agong. Sehubungan dengan itu, Yang di-Pertuan Agong menyampaikan duka cita dengan pernyataan yang dibuat di DPR pada 26 Juli 2021 bahwa pemerintah telah mencabut semua Ordonansi Darurat yang diumumkan oleh Yang Mulia selama masa darurat meskipun pencabutan tersebut belum disetujui oleh Yang di-Pertuan Agong.
"Yang Mulia juga mengungkapkan kesedihan mendalam atas apa yang telah disetujui dan diperintahkan Datuk Seri Takiyuddin bin Hassan sebagai Menteri Parlemen dan Hukum dan Jaksa Agung Tan Sri Idrus bin Harun selama sidang pada 24 Juli 2021 tentang usulan pencabutan semua Ordonansi Darurat yang diajukan dan diperdebatkan di parlemen," katanya.
Raja menegaskan bahwa pernyataan menteri di DPR pada 26 Juli 2021 tidak tepat dan menyesatkan anggota DPR. "Yang Mulia juga menegaskan bahwa permohonan pencabutan semua Peraturan Darurat efektif 21 Juli 2021 yang dilakukan secara tergesa-gesa tanpa presentasi di DPR dan pernyataan kontradiktif dan menyesatkan di DPR tidak hanya gagal menghormati prinsip supremasi hukum yang terkandung dalam Rukun Negara (dasar negara Malaysia)," katanya.
Fadil mengatakan pernyataan menteri tersebut telah meninggalkan fungsi dan kekuasaan Yang Mulia sebagai kepala negara sebagaimana diabadikan dalam Konstitusi Federal. "Yang Mulia menyadari perlunya dia bertindak sesuai dengan nasihat Kabinet sebagaimana tercantum dalam Pasal 40 (1) Konstitusi Federal," katanya.
Namun demikian, Raja berpandangan bahwa dia sebagai kepala negara berkewajiban memberikan nasehat dan teguran apabila terjadi tindakan inkonstitusional oleh pihak manapun, terutama yang menjalankan fungsi dan kekuasaan Yang di-Pertuan Agong. "Anggota DPR harus mengutamakan kesejahteraan dan kesejahteraan rakyat dan negara dalam sidang parlemen yang sedang berlangsung untuk mencari solusi atas berbagai permasalahan yang dihadapi rakyat dan negara selama krisis pandemi Covid-19," katanya.