REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Syariat dan filsafat merupakan dua disiplin ilmu yang berbeda. Di mana pengamalannya berangkat dari pemahaman masing-masing dari ilmu tersebut.
Aksin Wijaya dalam buku Teori Interpretasi Alquran Ibnu Rusyd menjabarkan bahwa menurut Ibnu Rusyd, syariat dan filsafat merupakan disiplin ilmu yang berbeda. Oleh karena itu, salah satu disiplin ilmu boleh menerima keberadaan prinsip dasar keilmuan lainnya.
Namun, tidak boleh terlibat dalam membahas dan apalagi membatalkan prinsip dasar keilmuan lain tersebut. Perbedaan prinsip dasar keduanya juga berkaitan erat dengan objek bahasan dan hasil temuan masing-masing.
Ibnu Rusyd menegaskan, “Jika suatu pandangan demonstratif (filsafat) membahwa pada pengetahuan tertentu dalam memahami maujud, terkadang maujud tersebut didiamkan dan terkadang disebutkan dalam syariat. Jika tidak disebutkan dalam syariat, berarti tidak ada masalah antara keduanya (filsafat dengan syariat) berkaitan dengan persoalan tersebut. Sebagaimana halnya hukum fikih yang tidak disebutkan dalam syariat kemudian ahli fikih mengistinbatkan dengan menggunakan qiyas syari’i,”.
Menurut Ibnu Rusyd, ada persoalan-persoalan tertentu yang hanya menjadi otoritas bahasan filsafat, dan ada pula persoalan-persoalan tertentu yang hanya menjadi otoritas bahasan syariat.
Perosalan prinsipil yang menjadi otoritas bahasan filsafat adalah menyangkut persoalan yang masuk ke dalam wilayah mubah secara epistemologis. Sedangkan persoalan-persoalan yang hanya menjadi otoritas bahasan filsafat adalah menyangkut persoalan prinsipil dalam syariat, seperti soal keyakinan adanya Tuhan, kerasulan Nabi, dan kewajiban melaksanakan sholat, dan adanya hari akhir.