REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Tuntutan terhadap kasus korupsi bantuan sosial (bansos) yang melibatkan mantan menteri Sosial Juliari Peter Batubara dikritik sejumlah pihak. Jaksa penuntut umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dinilai bisa memaksimalkan tuntutan menjadi hukuman 20 tahun atau seumur hidup, karena kasus korupsi terkait penanganan pandemi Covid-19 yang sampai saat ini masih melanda Indonesia.
Menanggapi kritikan tersebut, Plt Juru Bicara KPK, Ali Fikri mengatakan, tuntutan terhadap suatu perkara harus betul-betul berlandaskan fakta, analisa, dan pertimbangan hukumnya. Hal ini karena penegakan hukum harus dilakukan dengan cara yang benar menurut hukum.
KPK mengaku, memahami suasana kebatinan masyarakat dalam perkara yang menyangkut hak sosial ini. Namun, pihaknya berharap, hal tersebut tidak menjadi alasan untuk beropini yang kontraproduktif dalam upaya penegakan hukum.
"Karena kami tentu harus patuh dan taat terhadap norma-norma hukum dalam upaya pemberantasan korupsi," kata Ali dalam keterangannya, Jumat (30/7).
Ali menerangkan, perkara korupsi bansos yang melibatkan Juliari Peter Batubara bermula dari kegiatan Operasi Tangkap Tangan KPK. Sejauh ini, kata Ali, penerapan pasal TPK pada seluruh hasil tangkap tangan KPK adalah terkait penyuapan. Hal tersebut mendasar pada hasil penyelidikannya.
"Sebagaimana kita pahami bersama, bahwa OTT adalah produk dari penyelidikan tertutup. Bukan hasil dari case building melalui penyelidikan terbuka, dengan memanggil pihak-pihak terkait untuk dimintai keterangan dan klarifikasinya oleh tim penyelidik," terang Ali.
Namun, kata Ali, pada kesempatan berikutnya hasil tangkap tangan KPK dapat dikembangkan lebih lanjut untuk penerapan pasal lain, seperti Pasal 2 atau 3 UU Tipikor. Saat ini, KPK pun sedang melakukan pengembangan dalam perkara Bansos untuk menerapkan pasal tersebut.
Sebelumnya, Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai tuntutan ini sebuah keganjilan. "Padahal, pimpinan KPK telah sesumbar menyatakan akan menghukum berat koruptor bansos Covid-19," kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana, di Jakarta, Kamis (29/7).
ICW menilai, ringannya tuntutan tersebut semakin menggambarkan keengganan KPK menindak tegas pelaku korupsi bansos. Padahal, landasan hukum yang menjadi alas tuntutannya adalah Pasal 12 huruf b Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal tersebut sebenarnya mengakomodasi penjatuhan hukuman hingga penjara seumur hidup dan denda Rp 1 miliar.
Kurnia mengatakan, tuntutan pembayaran pidana tambahan uang pengganti juga jauh dari memuaskan mengingat besaran tersebut kurang dari 50 persen dari total nilai suap yang diterima Juliari. "Tuntutan yang rendah ini kontradiktif dengan semangat pemberantasan korupsi," katanya.
Mantan juru bicara KPK Febri Diansyah juga menilai, tuntutan terhadap terdakwa korupsi bansos ini tidak bisa mengobati penderitaan masyarakat akibat pandemi Covid-19. Juliari diyakini menerima suap terkait pengadaan bantuan sosial penanganan Covid-19 di wilayah Jabodetabek.
"Di tengah kondisi pandemi Covid-19 ini, tuntutan untuk terdakwa korupsi bansos Covid-19 hanya 11 tahun. Saya rasa tidak bisa mengobati penderitaan masyarakat yang menjadi korban korupsi bansos," kata Febri, Kamis (29/7).
Jaksa penuntut umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntut Majelis Hakim untuk menjatuhkan hukuman 11 tahun penjara dan denda sebesar Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan terhadap eks Menteri Sosial Juliari Peter Batubara. Jaksa meyakini Juliari menerima suap terkait pengadaan bantuan sosial penanganan Covid-19 di wilayah Jabodetabek.
Selain pidana badan Jaksa juga menuntut hakim agar Juliari dijatuhi hukuman berupa uang pengganti sejumlah Rp 14,5 miliar. Apabila Juliari tidak membayar uang pengganti dalam kurun 1 bulan setelah putusan pengadilan maka harta bendanya akan disita, dan bila tidak mencukupi, Juliari akan diganjar pidana badan selama 2 tahun. Jaksa juga menuntut agar hak politik Juliari dicabut selama empat tahun setelah selesai menjalani pidana pokok.