Jumat 30 Jul 2021 17:08 WIB

Polisi Belum Temukan Unsur Pidana Kasus Calo Kremasi

Pengelola rumah duka mengklaim terpaksa meminta bantuan para calo.

Rep: Febryan A/ Red: Bilal Ramadhan
Petugas menyemprotkan disinfektan ke abu jenazah Covid-19 yang telah selesai dikremasi
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Petugas menyemprotkan disinfektan ke abu jenazah Covid-19 yang telah selesai dikremasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penyelidikan kasus dugaan kartel biaya kremasi jenazah Covid-19 yang berubah jadi kasus percaloan masih terus berlanjut. Tapi, hingga kini, pihak kepolisian belum menemukan unsur pidana dalam kasus ini.

Kanit Kriminal Umum Polres Metro Jakarta Barat AKP Avrilendy, mengatakan, pihaknya sejauh ini sudah memeriksa 10 saksi. Mereka adalah pengelola rumah duka, pengelola krematorium, beberapa agen jasa layanan kematian, dan Martin selaku pembuat narasi viral soal biaya kremasi Rp 65 juta.

Berdasarkan hasil pemeriksaan, kata dia, diketahui kasus ini bukanlah praktik kartel. Sebab, antara pihak rumah duka dan pihak krematorium tak saling berkerjasama untuk menaikkan harga.

Dalam kasus ini, lanjut dia, adalah praktik percaloan. Para calo atau makelar lah yang mencarikan tempat kremasi di luar kota bagi pengelola rumah duka atau keluarga jenazah. Calo ini juga lah yang menentukan harga kremasi.

Pengelola rumah duka terpaksa meminta bantuan para calo ini karena tempat kremasi di Jakarta penuh dan mereka tak punya relasi dengan tempat kremasi di luar Jakarta.

"Akhirnya ketika dapat krematorium di luar kota harus melewati beberapa orang untuk menjembatani ke sana," kata Avrilendy ketika dihubungi, Jumat (30/7).

Avrilendy menyebut, pihaknya belum menemukan unsur pidana dalam kasus percaloan kremasi jenazah Covid-19 ini. "Makelar ambil untung belum ada aturan pidana yang mengatur," ujarnya.

Kendati demikian, pihaknya akan terus menyelidiki kasus ini. Penyelidikan selanjutnya akan difokuskan untuk memastikan apakah ada kerja sama antara pengelola krematorium dan para calo dalam mengendalikan harga.

"Apakah ada kesepakatan untuk harga dan membatasi slot kremasi. Tapi sejauh ini kita belum menemukan itu," ujarnya.

Kasus dugaan kartel kremasi jenazah Covid-19 ini bermula ketika viralnya pengakuan Martin, warga Jakarta Barat. Martin yang kesulitan mencari tempat kremasi di Jakarta akhirnya mendapat tawaran dari seorang petugas dari Dinas Pemakaman DKI Jakarta.

Petugas itu menawarkan kremasi di Cirebon dengan biaya Rp 65 juta. Tak punya pilihan, Martin akhirnya membayarnya. Ia lantas menyebut bahwa dirinya telah menjadi korban kartel kremasi. Sebab, harga normal kremasi hanya di kisaran Rp 7 juta.

Dalam pesan berantai yang disebar Martin, belakangan turut disertakan sebuah kuitansi atas nama Astrid. Kuitansi itu diberikan oleh Rumah Duka Abadi yang terletak di Jelambar, Grogol Petamburan, Jakarta Barat.

Dalam kuitansi itu, tertera biaya kremasi Rp 80 juta di Karawang. Saat dikonfirmasi, pihak Rumah Duka Abadi menampik tudingan menaikkan harga karena jasa kremasi dilakukan pihak ketiga.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement