REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Pandemi Covid-19 adalah salah satu dari sekian banyak cobaan yang diberikan Allah SWT sejak penciptaan alam semesta.
“Ini sebuah cobaan besar dari Allah SWT kepada kita dan ini mungkin adalah ujian kesekian kalinya sejak penciptaan bumi,” kata Ketua Yayasan Indonesia Damai Mengaji, Komjen Syafruddin, saat membuka diskusi keagamaan bertema ‘Meneladani Kesabaran Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS di Era Pandemi’ yang disiarkan secara langsung melalui kanal YouTube Tawaf TV, Jumat (30/7).
Dia menyebut misalnya banjir bandang saat masa Nabi Nuh, atau ujian kesabaran yang diberikan Allah SWT pada Nabi Ibrahim, saat dia diminta Allah menyembelih putranya, Nabi Ismail.
Dalam sambutannya, mantan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Indonesia ini mengatakan tujuan pemilihan tema ini, kata dia, adalah untuk memberikan pandangan dan wawasan kepada generasi muda tentang sejarah peradaban manusia, mengingat Nabi Ibrahim adalah bapak dari tiga agama terbesar di dunia, Islam, Yahudi, dan Kristen.
“Agar mereka memahami benang merah antara pengetahuan Islam, yang tentu sudah banyak dikaji oleh para pemuda Muslim, dengan sejarah peradaban manusia, karena para pemuda ini lah yang akan melanjutkan sejarah peradaban Islam sekaligus sejarah peradaban manusia,” sambungnya.
Ahli Fisiologi Universitas Airlangga, Prof Menachem Ali, menjelaskan Nabi Ibrahim memiliki sebutan berbeda di setiap kitab suci, jika dalam Alquran disebut Ibrahim, maka dalam Tanakh (Taurat) disebut sebagai Abraham, begitu juga dalam Alkitab.
Sebagai bapak dari tiga agama terbesar dunia, kisah Nabi Ibrahim khususnya tentang kesabarannya saat mendapat ujian dari Allah SWT menjadi pedoman bukan hanya bagi umat Muslim, melainkan juga umat Nasrani dan Yahudi, kata dia.
Pemilihan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail sebagai pedoman dalam meningkatkan kesabaran di masa pandemi, juga karena keduanya diberikan gelar halim oleh Allah SWT.
Prof Ali menjelaskan, gelar halim, yang berarti pengasih, pemurah, baik, tenang dan lembut, hanya diberikan kepada dua manusia saja, yang tak lain adalah Nabi Ismail dan ayahnya, Nabi Ibrahim.
“Kata halim memiliki derajat yang lebih tinggi dibanding saleh, jika orang disebut sholeh maka dia belum tentu halim, tapi mereka yang disebut halim sudah pasti soleh. Orang yang dijuluki halim di muka bumi hanya dua orang, yaitu Ismail dan ayahnya, Ibrahim,” ujarnya menegaskan.
Prof Ali mengkaji kisah pengorbanan Nabi Ibrahim, dimana inisiator peninggian pondasi Kabah ini diperintahkan untuk menyembelih anak pertama yang telah lama dia nantikan. Pertanyaan yang muncul adalah, ‘mengapa Allah SWT tidak langsung memerintahkan Ibrahim AS untuk mengorbankan hewan ternak, mengingat ini adalah awal mula dari terjadinya Idul Adha?’, terlebih kala itu Ibrahim AS adalah seorang peternak besar yang memiliki ratusan hewan ternak.
“Jawabannya sederhana, karena jika Allah SWT langsung memerintahkan Ibrahim untuk menyembelih hewan ternaknya, rasa pengorbanan dan keikhlasan Ibrahim tidak akan sebesar saat dia harus merelakan putra satu-satunya untuk disembelih,” ujarnya.
“Melalui cobaan ini, Allah menekankan hakikat kepemilikan kepada Ibrahim, karena pada dasarnya seluruh yang ada di bumi dan alam semesta adalah kepemilikan-Nya, termasuk anak, istri, orang tua, bahkan tubuh kita sendiri,” sambungnya.
“Ini merupakan refleksi bahwa apa yang ada di dalam Alquran merupakan peristiwa yang bisa dijadikan pelajaran hidup termasuk apa yang dialami Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail, salah satunya dengan menjaga nyawa kita dan orang orang sekitar kita, sebagaimana Allah telah menjaga nyawa Nabi Ismail dari pengorbanan,” kata dia.