REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kuasa Hukum Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko Otto Hasibuan mengatakan, pihak Moeldoko masih menunggu itikad baik dari Indonesia Corruption Watch (ICW) untuk membuktikan tuduhan soal keterkaitan Moeldoko dan Ivermectin. “Jadi pak Moeldoko itu sangat bertindak arif dan bijaksana," kata Otto kepada Republika, Sabtu (31/7).
Karena itu, Otto mengatakan, ICW harus bisa membuktikan tuduhan tersebut. "Karena demokrasi harus berpijak pada hukum. Dalam kasus ini tidak ada kriminalisasi karena pak Moeldoko memberi kesempatan kepada ICW untuk membuktikan tuduhan," kata dia.
Selain itu, Otto mengatakan, pihak Moeldoko tidak akan serta-merta langsung melaporkan ICW ke kepolisian. Otto pun merespons pernyataan koalisi masyarakat sipil bahwa kliennya melanggengkan praktik kriminalisasi.
"Tentu kami tidak akan lapor polisi kan. Jadi pernyataan yang menyatakan itu melanggengkan kekuasaan adalah tidak berdasar dan hanya mengalihkan isu dan permainan retorika," kata dia.
Dia juga mengatakan demokrasi haruslah berpijak pada hukum. "Negara kita adalah negara hukum, jadi kita tidak boleh berlindung dengan demokrasi untuk melakukan fitnah dan pencemaran nama baik," kata dia.
Sebelumnya, sebanyak 109 organisasi masyarakat sipil yang mengatasnamakan Koalisi Masyarakat Sipil menyayangkan langkah kuasa hukum Moeldoko yang melayangkan somasi terhadap Indonesia Corruption Watch (ICW) terkait dengan penelitian tentang polemik Ivermectin. Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu menilai, ada upaya pemberangusan nilai demokrasi.
"Peraturan perundang-undangan telah menjamin hak setiap masyarakat atau organisasi untuk menyatakan pendapat," kata Erasmus dalam siaran pers yang diterima Republika, Jumat (30/7).
Selain itu, Erasmus mengatakan, langkah somasi tersebut juga berpotensi melanggengkan praktik kriminalisasi terhadap organisasi masyarakat sipil. Mengutip data SAFENet, Erasmus mengungkapkan dalam kurun waktu 12 tahun terakhir, kriminalisasi menggunakan UU Informasi dan Transaksi Elektronik banyak menyasar masyarakat dari berbagai kalangan, misalnya: aktivis, jurnalis, hingga akademisi.
"Mirisnya, mayoritas pelapor justru pejabat publik. Ini menandakan belum ada kesadaran penuh dari para pejabat dan elit untuk membendung aktivitas kriminalisasi tersebut, guna mendorong terciptanya demokrasi yang sehat di Indonesia," kata dia.