REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dinamika pemikiran kaum muda Muslim yang tergambarkan pada sejumlah penelitian menunjukkan adanya proses pencarian identitas di kalangan generasi milenial yang belum selesai. Atau bahkan baru memasuki proses awal pencarian identitas. Pencarian identitas itulah yang berkontribusi pada maraknya geliat mendalami agama.
Periode pada proses pencarian identitas itu sejatinya pembentukan karakter awal berdasarkan pengetahuan awal yang belum begitu mendalam. Chaider Bamualim Dkk dalam buku Kaum Muda Muslim Milenial: Konservatisme, Hibridasi Identitas, dan Tantangan Radikalisme menjelaskan alasan mengapa kaum milenial menggemari ustadz yang melek digital.
Dijelaskan bahwa generasi milenial yang mengakrabi teknologi digital telah menjadikan media sosial dan sumber-sumber informasi daring sebagai salah satu media pembelajaran, termasuk dalam mempelajari Islam.
Bila dulu para ulama membaca buku dan menuliskan pemahaman mereka secara mendalam dan sistematis untuk membahas persoalan yang membuat pandangan mereka dianggap otoritatif, kini otoritas itu setidaknya yang dipersepsikan kalangan milenial diperoleh dari sumber-sumber digital.
Ketokohan seorang pemuka agama bagi generasi milenial ditentukan oleh popularitasnya dan frekuensi kemunculannya di media-media massa, terutama media elektronik. TV dan internet menjadi rujukan yang banyak kalangan muda akses dalam mendapatkan informasi tokoh yang mereka idolakan.
Namun demikian, meski mendapatkan akses informasi mengenai informasi tokoh yang diidolakan, dalam penelitian yang diadakan oleh Chaider Bamualim Dkk dijelaskan, para informan mengenal para ustadz tersebut hanya melalui media digital. Mayoritas mereka tidak mengenalnya secara langsung, datang secara offline ke dalam pengajiannya, apalagi membaca buku-buku karya ustadz tersebut.