REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN – Ebrahim Raisi telah resmi dilantik sebagai presiden Iran. Pengukuhan terjadi setelah pemimpin tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei memberi persetujuan dalam sebuah upacara yang disiarkan langsung televisi pemerintah, Selasa (3/8).
“Mengikuti pilihan rakyat, saya menugaskan Hojatoleslam Ebrahim Raisi yang bijaksana, tak kenal lelah, berpengalaman, dan populer sebagai presiden Republik Islam Iran,” tulis Khamenei dalam sebuah dekret yang dibacakan kepala stafnya, dikutip laman Al Arabiya.
Dalam pidatonya, Raisi berjanji pemerintahannya akan berusaha mencabut sanksi ekonomi yang diterapkan Amerika Serikat (AS). Dia pun tidak akan menunggu bantuan asing untuk menyelamatkan perekonomian yang terpukul. “Kami akan berusaha mencabut sanksi tirani yang dijatuhkan Amerika,” ujar Raisi.
Dia pun berjanji akan memperbaiki kondisi kehidupan warga Iran yang menderita akibat sanksi. Raisi memenangkan pilpres Iran pada 19 Juni lalu. Dia menghimpun 62 persen suara. Dari 28,6 juta surat suara terhitung, sebanyak 17,8 juta di antaranya memilih Raisi.
Beberapa tugas penting telah menunggu Raisi. Hal itu terutama berkaitan dengan penanganan ekonomi yang kian memburuk akibat sanksi AS dan pandemi. Raisi juga harus mengerahkan upaya untuk menghidupkan kembali kesepakatan nuklir Iran tahun 2015 atau Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA). JCPOA retak setelah mantan presiden AS Donald Trump menarik Washington dari kesepakatan tersebut.
Trump berpandangan JCPOA "cacat" karena tak turut mengatur tentang program rudal balistik dan peran Iran di kawasan. Trump kemudian memberlakukan kembali sanksi ekonomi terhadap Teheran.
Sejak saat itu, Iran mulai menangguhkan komitmen yang dibuatnya dalam JCPOA, terutama tentang pengayaan uranium. JCPOA mengatur Iran hanya diizinkan memperkaya uranium hingga 3,67 persen. Iran sempat mengumumkan sedang melakukan pengayaan hingga 60 persen. Badan Energi Atom Internasional (IAEA) mengonfirmasi proses tersebut.