Selasa 03 Aug 2021 22:20 WIB

Studi: 50 Persen Diabetesi tidak Patuh Pengobatan

Kepatuhan diabetesi rendah terkait proses pengobatan yang rumit.

Rep: Desy Susilawati/ Red: Nora Azizah
Kepatuhan diabetesi rendah terkait proses pengobatan yang rumit.
Foto: Pixabay
Kepatuhan diabetesi rendah terkait proses pengobatan yang rumit.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Diabetes merupakan penyakit endemik global dengan tingkat prevalensi yang terus meningkat pesat di seluruh dunia, baik di negara berkembang maupun negara maju. Meskipun sekarang ini berbagai pengobatan sudah tersedia, banyak pasien diabetes tipe-2 yang masih menghadapi berbagai masalah seperti kesulitan mengontrol kadar glikemik, berat badan, dan menurunkan risiko penyakit kardiovaskular serta ginjal, serta tingkat kepatuhan terhadap pengobatan yang masih rendah.

Ketua Umum Pengurus Besar Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PB PERKENI) Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD mengatakan, meskipun sudah mengikuti pedoman klinis dan melakukan kendali glikemik dengan benar, pasien seringkali tidak mampu menurunkan nilai HbA1c hingga mencapai target.

Baca Juga

"Studi menunjukkan bahwa lebih dari 70 persen orang dewasa dengan diabetes tipe-2 di Indonesia gagal mencapai target HbA1c di bawah 7 persen," ujarnya dalam keterangan pers yang diterima republika.co.id, Selasa (3/8).

Mencapai target nilai HbA1c menjadi penting karena dapat mengurangi komplikasi mikrovaskuler, menurunkan angka penyakit kardiovaskular secara jangka panjang jika diterapkan pada pasien yang baru terdiagnosis, dan menurunkan angka kematian terkait diabetes. Pendekatan multifaktorial dalam penanganan diabetes tipe-2 memerlukan sejumlah pengobatan yang berbeda. 

Hal ini dapat menurunkan tingkat kepatuhan pasien selama menjalani pengobatan. Sebuah studi menunjukkan bahwa sekitar 50 persen orang dengan diabetes memiliki tingkat kepatuhan yang sangat rendah karena proses pengobatan yang rumit. Menyederhanakan proses pengobatan merupakan langkah utama untuk meningkatkan tingkat kepatuhan pasien.

“Berbagai kebutuhan pasien yang tidak terpenuhi dan kepatuhan pasien yang rendah dalam menjalankan pengobatan diabetes dapat menyebabkan risiko komplikasi yang serius,” ujar Prof Suastika.

Menurutnya, kita perlu menetapkan standar baru untuk pengobatan diabetes tipe-2. Ketika kondisinya dikelola dengan baik, risiko komplikasi yang dapat mengancam jiwa dapat dikurangi.

Ia menambahkan, terapi GLP-1 RA yang cukup digunakan sekali dalam seminggu ini mampu menurunkan kadar HbA1c secara signifikan. Sekitar 80 persen atau 4 dari 5 pasien yang menjalani pengobatan dengan GLP-1 RA berhasil mencapai tingkat HbA1c di bawah 7 persen. 

"Ini tentunya merupakan kabar baik karena penting sekali bagi orang dengan diabetes untuk selalu mengontrol tingkat gula darahnya," ujarnya.

Selain itu, selama uji klinis, pengobatan inovatif baru ini mampu menurunkan berat badan secara signifikan. Setidaknya 3 dari 5 pasien berhasil menurunkan berat badan hingga lebih dari 5 persen. 

"Pengobatan ini juga mengurangi risiko penyakit kardiovaskular sebesar 26 persen pada pasien diabetes tipe-2 dengan risiko tinggi dan riwayat penyakit kardiovaskular, serta mengurangi risiko sebesar 36 persen terhadap perburukan atau terjadinya gangguan fungsi ginjal akibat diabetes pada pasien diabetes tipe-2 dengan risiko kardiovaskular tinggi,” tambahnya.

Diabetes tipe-2 adalah kondisi serius yang dialami oleh lebih dari 10,7 juta orang di Indonesia. Meskipun sudah ada berbagai kemajuan dalam hal pengobatan, masih ada kebutuhan pasien yang tidak terpenuhi.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement