Rabu 04 Aug 2021 15:16 WIB

Allah Dalam Pembagian Bansos Covid: Masihkah Ada Rasa Malu?

Pandemi membuktian, Allah ternyata bersama orang miskin yang ikhlas.

Warga antre mengambil Bantuan Sosial. (Ilustrasi
Foto: ANTARA/ARIF FIRMANSYAH
Warga antre mengambil Bantuan Sosial. (Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika

Entah apa yang bergelayut di benak Zuhri (bukan nama sebenarnya, red) ketika melihat pembagian bansos yang berlansung di dekat  tempat mangkalnya. Dia sehari-hari hanyalah orang yang tingal di kontrakan bersama isteri dan anaknya. Sehari hari berjualan minuman khas dawet Banjarnegara yang sedap.

Dan tempat mangkal gerobak Zuhri adalah di sebuah tempat teduh yang berada ruas jalan di sebuah komplek perumahan yang tak jauh dari kawasan Halte 15 Bus Transjakata di Ciledug. Dia sudah bertahun-tahu tinggal dan mencari nafkah di sana. Sebuah rumah kontrakan sengaja dia sewa untuk tempat tingalnya bersama keluarganya. Rumah kontrakan itu berada tak jauh dari kompleks perumahan tersebut.

Bila mehat gaya hidup keseharian, Zuhri jelas bukan merupakan warga yang  sejahtera. Penghasilan sehari-harinya hanya dia dapat dengan sedikit keuntungan dari hasil selisih harga dan bianya produksi minumannya yang tak seberapa itu.

''Dulu saya terima bansos melalui transfer ATM. Tapi sekarang tidak. Entah mengapa tak dikirimi lagi. Kata Pak RT rekeningnya ditarik,'' kata Zuhri sembari terus memandang kerumunan warga yang mengantre jatah Bansos yang di spanduknya ada tulisan yang menandakan terselenggara bersama BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Teorisme).

Tapi pembagian siang itu ada kejanggalan terlihat. Sosok seperti Zuhri dan orang berpenampilan sederhana jarang terlihat. Mereka yang datang kebanyakan ibu-ibu yang naik motor, berdandan necis, bahkan kerap terlihat memakai perhiasan emas. Hanya satu dua orang saja yang jalan kaki atau berkaos kumal. Kebanyakan terlihat ceria.

Tak hanya itu, banyak di antara para pengambil jatah itu anak muda. Dia tampaknya mewakili keluarganya untuk mengambil jatah itu. Dan melihat gaya dandanan, penampilan, mereka tak terlihat sebagai orang susah. Datang dengan naik sepeda motor itu menjadi kepastian. Dan mereka tanpa sungkan dan tak menyadari bila orang-orang sederhana seperti Zuhri melihatnya dengan geleng-geleng kepala.

''Ya sudah rezeki dia. Saya sudah biasa tak dapat. Bahkan banyak keluarga dan teman saya yang ngontrak tak dapat bansos. Malah justru yang punya kontrakan yang dapat bansos kali ini,'' keluhnya pasrah sembari mengatakan tampaknya yang dekat dengan pengurus RT yang kebanyakan dapat.

Tak beda dengan Zuhri, seorang pekerja serabutan  yang kerap membantu pekerjaan di kompleks tersebut bernasib sama. Dengan kondisi kaki sebelah yang mengalami kendala, bansos luput mengunjungi tempat tinggalnya yang berada di perkampungan Jurangmangu, Tangsel.

''Sampai sekarang saya belum pernah dapat pak. Di rumah juga gak ada yang terima. Rumah saya memang ngontrak, mungkin itu Pak? Kami dianggap bkan warga,'' ujarnya pendek.

Ketika melihat kondisi mereka yang terkesan berada memanggul kantong beras dengan naik motor pada acara itu, Mardilah menjawabnya sembari tersenyum. ''Biar saja Pak. Bukan rejeki saya,'' katanya enteng.

''Semua terserah Allah saja Pak. Biar yang punya alam ini yang mengaturnya. Saya gak mau iri dan khusnodzon dan sebagainya. Biar saja mereka seperti itu,'' tukas Mardalih.

Ketika ditanya apakah orang yang lebih berpunya dari dia seharusnya tidak bangga dan merasa malu ketika menerima jatah Bansos Covid-19, lagi-lagi dia menjawab hanya menggeleng.''Saya cukup begini. Yang penting saya sehat. Gak terima Bansos juga gak apa-apa,'' kata Mardalih yang setiap hari berkeliling kompleks untuk menawarkan jasa dan dagangan alat pembersih rumah.

Sementara itu, Teguh Setiawan, jurnalis senior yang tinggal di perkampungan Duri Kepa, Jakarta Barat, mengatakan memang banyak keanehan yang dialaminya secara langsung dalam pembagian Bansos selama pandemi. Kalau melihat orang berpunya tak tahu malu ikut antre terima Bansos, itu pemandangan biasa. Dan ini terasa makin memilukan terjadi dalam sebuah negara yang katanya menjunjung tinggi semua nilai-nilai luhur.

''Bayangkan, sampai sekarang saya tetap mendapat Bansos. Sebelum ini, bahkan isteri saya dapat transferan dana dari pemerintah lewat BRI sebanyak Rp 2,4 juta yang katanya untuk modal kerja. Isteri saya kaget, karena selain tak pernah mendaftarkan diri dan tak punya rekening BRI, dia juga merasa tak punya tempat usaha. Maka uang itu kemudian dibagi-bagikan kepada para janda yang berada di sekitar kampung. Kami merasa tak berhak,'' kata Teguh.

Dan yang sekarang, lanjut Teguh, dirinya juga kaget ketika dapat kiriman beras Bansos.  Dan lebih miris dan kaget para tetangga yang jelas-jelas lebih berhak, malah tak mendapatkannya. Lagi-lagi beras Bansos itu dibagikan ke tetangga.

"Teman saya yang juga jurnalis senior, kaget juga mendapat bansos, baik yang sebelumnya berupa tarnsfer uang atau beras. Dasar dia suka bercanda, dia mengatakan dia mendapatkan jatah bansos itu karena seringkali ke warung di rumah Pak RT beli ikan pindang. Dia tak tahu ikan itu untuk makanan kucing. Nah, di situ Pak RT mungkin iba saya ini orang susah karena selalu makan ikan pindang yang kerap dijadikan makanan kucing itu."

Teguh mengatakan, melihat kejadian di Bansos kini terlihat jelas betapa bermasalahnya data penerima Bansos itu. Dan ini juga memberi penjelasan betapa kuyupnya bangsa Indonesia dalam korupsi.''Di atas ada menteri yang ditangkap karena korupsi Bansos. Maka kalau di bawah, tingkat RT pada korupsi juga wajar jadinya. Apa yang dikatakan proklamator Bung Hatta bahwa bangsa ini korupsi sudah menjadi budaya saat ini terbukti adanya. Rasa malu sudah tak penting!"

Mengomenatri kenyataan itu, pengamat sosial dan keagamaan, Fachry Ali, mengatakan apa yang terjadi saat ini memunculkan dua fenomena masyarakat Pertama, bagi kelas masyararakat menengah yang ditandai minimal punya sepeda motor dan baju bagus, kini kondisinya benar-benar terpukul. Akibatnya, mereka tak merasa risi atau malu menerima bansos.

''Selama pandemi yang sudah berjalan dua tahun ini memukul sekali ekspekstasi dan pengharapan kelas menangah. Mereka kini betul-betul terpuruk dengan turun kelas ekonominya. Ini jelas sangat membuat sedih,'' tegasnya.

Kedua, bagi masyarakat kelas bawah atau biasa, justru mereka makin tabah menerima kenyataan bila mereka harus mandiri dan tak perlu berharap pada orang lain dan negara. Dan pada satu sisi ini menjadi bukti -- seperti yang terjadi pada Mardalih -- bahwa agama kini benar-benar terbukti menjadi tempat sandarannya. Mereka tak mengeluh kepada siapa pun kecuali pada Allah SWT sang maha pencipta.

''Mereka terbiasa tak terima bantuan, tapi mereka bertahan dengan kepercayaan kepada nilai agama dan budaya. Misalnya, mereka percaya pada adagium yang sangat sufisistik: Gusti Allah wis naker rejekimu (Allah sudah menakar rejekimu,red). Agama di sini sangat berarti untuk menjadikan mereka tak bersikap fatalistis dan anarkhis. Pemerintah seharusnya berterima kasih kepada para tokoh agama dan ulama yang membimbing umat,'' tegas Fachry.

Jadi fenomena ini menjadi pertanda juga bahwa justru rakyat biasa mereka lebih mengamalkan nilai-nilai keagamaan dan moral.''Ingat warga biasa yang kali ini tak terima bansos pasti bukan pelaku korupsi. Mereka tak punya apa-apa dari dahulu, mereka juga tak pernah punya kekuasaan. Jadi runtuhlah adagium yang duu menyebutkan: Jangankan Tuhan, setan pun enggan bertamu ke rumah orang miskin, sekarang terbalik ternyata di rumah orang miskin dan papa di sanalah Tuhan berada. Kondisi pandemi mengajarkan kita,'' kata Fachry Ali.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement