Rabu 04 Aug 2021 16:19 WIB

HRW: Pejabat Pemerintah Abaikan Risiko Ledakan Beirut

Pejabat Lebanon tahu ada risiko ledakan di pelabuhan Beirut tapi mereka diam saja

Rep: Lintar Satria/ Red: Christiyaningsih
Sebuah gambar yang diambil dengan drone menunjukkan area pelabuhan yang hancur dalam enam bulan sejak hari ledakan, di Beirut, Lebanon, 03 Februari 2021 (dikeluarkan 04 Februari 2021). Sedikitnya 200 orang tewas, dan lebih dari enam ribu lainnya luka-luka dalam ledakan Beirut yang meluluhlantahkan daerah pelabuhan pada 04 Agustus. Hal ini diyakini disebabkan oleh sekitar 2.750 ton amonium nitrat yang disimpan di gudang.
Foto: EPA-EFE / WAEL HAMZEH
Sebuah gambar yang diambil dengan drone menunjukkan area pelabuhan yang hancur dalam enam bulan sejak hari ledakan, di Beirut, Lebanon, 03 Februari 2021 (dikeluarkan 04 Februari 2021). Sedikitnya 200 orang tewas, dan lebih dari enam ribu lainnya luka-luka dalam ledakan Beirut yang meluluhlantahkan daerah pelabuhan pada 04 Agustus. Hal ini diyakini disebabkan oleh sekitar 2.750 ton amonium nitrat yang disimpan di gudang.

REPUBLIKA.CO.ID, BEIRUT -- Satu tahun setelah ledakan besar memporak-porandakan Beirut, Organisasi hak asasi manusia (HAM) menyatakan pemerintah Lebanon yang bertanggung jawab atas bencana yang terjadi di ibu kota tersebut.

Satu tahun setelah ledakan di pelabuhan Beirut menewaskan 214 orang, melukai 6.000 orang lainnya, dan menghancurkan atau merusak ribuan rumah dan bisnis, pada Selasa (3/7) kemarin Human Rights Watch (HRW) merilis laporan terbaru mengenai peristiwa 4 Agustus 2020 itu.

Baca Juga

Pada Rabu (4/8) Daily Sabah melaporkan dalam laporan itu HRW mengatakan pejabat Lebanon mengetahui risiko menyimpan bahan mudah meledak selama bertahun-tahun di pelabuhan. Namun mereka tidak melakukan apa-apa untuk melindungi masyarakat.

HRW menambahkan pejabat yang sama mencoba menghalangi penyelidikan. Ledakan itu dipicu api besar dari gudang penyimpanan di pelabuhan yang menyimpan ratusan ton amonium nitrat.

 

Penyelidikan satu tahun kemudian belum menjawab pertanyaan siapa yang memerintahkan pengiriman bahan kimia tersebut dan mengapa pemerintah mengabaikan peringatan interal mengenai bahayanya.

Dalam laporan sepanjang 650 halaman yang berjudul They Killed US from the Insiden, HRW menyajikan sejumlah dokumen dan surat-surat antara pejabat pemerintah Lebanon mengenai amonium nitrat yang berbahaya yang disimpan di pelabuhan Beirut selama hampir enam tahun.

"Tindakan dan kelalaian pihak berwenang Lebanon menciptakan risiko hilangnya nyawa tanpa alasan," kata HRW dalam laporan mereka.

Organisasi yang bermarkas di New York itu menambahkan berdasarkan undang-undang hak asasi manusia internasional, kegagalan sebuah negara bertindak untuk mencegah risiko kematian yang dapat diprediksi adalah pelanggaran hak asasi manusia. Bukti menunjukkan sejumlah pejabat Lebanon mengetahui risiko menyimpan amonium nitrat dan menerima risikonya begitu saja.

"Bukti menunjukkan dengan kuat sejumlah pejabat pemerintah memprediksi keberadaan amonium nitrat di pelabuhan dapat menimbulkan kematian dan diam-diam menerima risiko kematian," kata HRW.

"Berdasarkan undang-undang dalam negeri, ini dapat menjadi kejahatan pembunuhan berencana, dan atau pembunuhan tak terencana," tambah organisasi itu.

Laporan tersebut menyebutkan nama-nama pejabat tinggi pemerintah yang sudah diberitahu mengenai risiko yang ditimbulkan amonium nitrat jika disimpan di permukiman padat penduduk. Mereka antara lain Presiden Michael Aoun, Perdana Menteri saat itu Hassan Diab, seorang mantan kepala angkatan darat, pejabat keamanan, dan sejumlah  anggota kabinet lainnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement