Kamis 05 Aug 2021 00:05 WIB

Kebal Covid-19, Berapa Banyak Jumlah Antibodi Dibutuhkan?

Sejauh ini, vaksin Covid-19 menawarkan kekebalan tubuh dari virus Covid-19.

Rep: Santi Sopia/ Red: Nora Azizah
Sistem antibodi tentu penting agar efek vaksinasi bekerja dalam tubuh.
Foto: Prayogi/Republika.
Sistem antibodi tentu penting agar efek vaksinasi bekerja dalam tubuh.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sistem antibodi tentu penting agar efek vaksinasi bekerja dalam tubuh. Para ilmuwan sebelumnya berasumsi bahwa orang yang divaksinasi dengan vaksin mRNA seperti yang diproduksi oleh BioNTech-Pfizer, memiliki lebih dari 90 persen perlindungan terhadap virus.

Namun, itu tidak berlaku untuk varian delta baru. Varian ini jauh lebih menular daripada virus sebelumnya dan menyebar ke seluruh dunia. Carsten Watzl, seorang ahli imunologi di Institut Leibniz dari Universitas Teknik Dortmund, memperkirakan bahwa efektivitas vaksin mRNA BioNTech-Pfizer berkurang dari 90 persen dalam kasus virus asli menjadi 88 persen dengan delta, dan vaksin vektor AstraZeneca dari 66 persen menjadi 60 persen.

Baca Juga

Data dari Israel bahkan menunjukkan bahwa perlindungan terhadap infeksi varian berbahaya hanya sekitar 64 persen ketika vaksin BioNTech-Pfizer digunakan. Tetapi vaksin tersebut masih menawarkan perlindungan 93 persen terhadap kasus COVID-19 yang parah. Kementerian Kesehatan Israel sekarang sedang mempertimbangkan untuk menawarkan vaksin dosis ketiga kepada publik.

Setelah dua kali suntikan, mayoritas orang kebal terhadap virus. Namun Carsten Watzl memperingatkan bahwa ini tidak selalu berlaku untuk semua orang yang divaksinasi ganda.

"Vaksinasi saja bukan jaminan untuk menjadi kebal," katanya, dilansir laman DW, Selasa (4/8).

Dia menambahkan bahwa hal yang penting adalah tubuh telah membangun perlindungan kekebalan yang cukup atau belum. Hanya saja, peneliti belum bisa mengukurnya saat ini.

Berbeda dengan vaksinasi tetanus, di mana tes dapat menentukan apakah tubuh cukup terlindungi atau tidak. Dengan virus corona, para peneliti belum mencapai tahap itu. Watzl mengakui ilmuwan belum tahu persis apa yang perlu diukur untuk benar-benar menentukan apakah seseorang kebal atau tidak. Hal yang jelas, antibodi penawar memainkan peran kunci karena mengikat virus sedemikian rupa sehingga tidak dapat menginfeksi sel lagi.

Tetapi belum diketahui jelas seberapa tinggi jumlah antibodi yang dibutuhkan. Untuk melawan virus, sistem kekebalan tubuh memiliki sel T yang mampu membunuh sel yang terinfeksi virus.

“Dengan kata lain, orang lebih suka mengorbankan beberapa sel dalam tubuh, yaitu yang terinfeksi, daripada memberi virus kesempatan untuk berlipat ganda," kata Wattzl.

Namun, lebih sulit untuk menentukan jumlah sel T daripada jumlah antibodi. Pasalnya, tes sel T relatif memakan waktu.

Antibodi saja tidak selalu memberi tahu tentang seberapa baik seseorang terlindungi. Watzl mengatakan bahwa seseorang mungkin hampir tidak memiliki antibodi sehingga masih bisa terinfeksi virus.

"Tetapi respons sel T begitu kuat sehingga orang tersebut tidak sakit parah," katanya.

Orang dengan tingkat antibodi tinggi mungkin terlindungi dengan baik terhadap virus corona. Namun, hanya memiliki sedikit antibodi bukan berarti tidak ada perlindungan sama sekali.

Tes antibodi menggunakan berbagai metode pengukuran. Biasanya, pemeriksaan laboratorium menggunakan standar yang jelas yang menetapkan nilai minimum hingga maksimum.

Ini memungkinkan dokter untuk melihat apakah kadarnya dalam kisaran normal. Namun, levelnya belum ditentukan untuk virus corona.

Jadi dokter memperkirakan, dengan tingkat terukur mulai dari kurang dari seratus hingga beberapa ribu antibodi. Tidak jelas seberapa cepat tingkat antibodi turun. Itu biasanya ergerak dalam dua gelombang, jika dilihat tepat setelah vaksinasi.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement