Sabtu 07 Aug 2021 05:00 WIB

Benarkah Bulu Hidung Lindungi Manusia dari Infeksi Virus?

Bulu hidung bertugas menyaring udara yang dihirup manusia.

Rep: Idealisa Masyrafina/ Red: Reiny Dwinanda
Tes PCR Covid-19. Bulu hidung selama ini dikenal sebagai penyaring udara yang dihirup. Meski begitu, pakar menyebut, virus terlalu kecil ukurannya untuk tersaring oleh bulu hidung.
Foto: ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya
Tes PCR Covid-19. Bulu hidung selama ini dikenal sebagai penyaring udara yang dihirup. Meski begitu, pakar menyebut, virus terlalu kecil ukurannya untuk tersaring oleh bulu hidung.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gagasan bahwa bulu hidung manusia (vibrissae) mungkin menawarkan perlindungan terhadap kuman menular sudah muncul lebih dari satu abad. Pemikiran itu muncul karena bulu hidung berfungsi menyaring udara yang manusia hirup.

Dari situ, orang kemudian berpikir bahwa bulu hidung dapat melindungi dari infeksi oleh virus, bakteri, dan patogen lainnya di udara. Benarkah bulu hidung ibarat perisai?

Baca Juga

Pada tahun 1896, sepasang dokter Inggris, menulis dalam jurnal medis bergengsi The Lancet bahwa bagian dalam dari sebagian besar rongga hidung normal adalah aseptik sempurna (steril). Di sisi lain, vestibulum nares (lubang hidung), dilapisi oleh vibrissae.

Semua kotoran yang terbentuk di sana umumnya dipenuhi bakteri.   Kedua fakta ini tampaknya menunjukkan bahwa bulu hidung bertindak sebagai filter dan bahwa sejumlah besar mikroba menemui ajalnya di "rimba" bulu hidung yang lembap yang tumbuh di bagian depan dari lubang hidung.

Kesimpulan dokter Inggris mungkin terdengar logis, tetapi pada saat itu tidak ada yang benar-benar mempelajari apakah memotong bulu hidung dapat memudahkan kuman untuk menembus lebih dalam ke saluran pernapasan. Baru pada tahun 2011 kelebatan rambut hidung dipelajari secara ketat sebagai kemungkinan korelasi penyakit.

Dalam sebuah penelitian terhadap 233 pasien yang diterbitkan dalam Arsip Internasional Alergi dan Imunologi, tim peneliti dari Turki menemukan bahwa orang dengan bulu hidung yang lebih lebat cenderung tidak menderita asma. Para peneliti menghubungkan temuan ini dengan fungsi penyaringan rambut hidung.

Pengamatan mereka menarik, tetapi itu adalah penelitian observasional yang tidak dapat membuktikan sebab dan akibat, dan asma bukanlah infeksi. Para peneliti juga tidak melakukan studi lanjutan untuk menilai bagaimana memangkas bulu hidung dapat mempengaruhi risiko asma atau infeksi.

Butuh waktu hingga tahun 2015 bagi para dokter di Mayo Clinic AS untuk melakukan studi pertama. Sejauh ini, itulah penelitian terbaru untuk melihat efek pemangkasan bulu hidung.

Para peneliti mengukur aliran udara hidung pada 30 pasien sebelum dan sesudah memotong bulu hidung mereka. Dari percobaan itu mereka menemukan bahwa pemangkasan bulu hidung menyebabkan perbaikan dalam ukuran subjektif dan objektif aliran udara hidung.  

Peningkatan terbesar terjadi pada mereka yang memiliki bulu hidung paling banyak. Hasilnya dipublikasikan di American Journal of Rhinology and Allergy.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement