Kamis 05 Aug 2021 05:45 WIB

UGM Kembangkan Alat Deteksi Kerumunan untuk Cegah Covid-19

Sekaligus menampilkan informasi kapan dan di mana kerumunan terjadi.

Rep: Eric Iskandarsjah Z/ Red: Muhammad Fakhruddin
Polisi membubarkan kerumunan ojol saat aski menolak Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) oleh massa gabungan pelajar, mahasiswa, pedagang dan ojol di Kawasan Balai Kota, Jalan Wastukancana, Kota Bandung, Rabu (21/7). Mereka berharap pemerintah segera menghentikan PPKM, karena kebijakan tersebut dianggap telah menyengsarakan rakyat.
Foto: Edi Yusuf/Republika
Polisi membubarkan kerumunan ojol saat aski menolak Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) oleh massa gabungan pelajar, mahasiswa, pedagang dan ojol di Kawasan Balai Kota, Jalan Wastukancana, Kota Bandung, Rabu (21/7). Mereka berharap pemerintah segera menghentikan PPKM, karena kebijakan tersebut dianggap telah menyengsarakan rakyat.

REPUBLIKA.CO.ID,YOGYAKARTA -- Dalam menghadapi pandemi, masyarakat disarankan untuk menerapakan budaya 5M yang salah satunya adalah menghindari kerumunan. Tapi, terkadang masih saja masyarakat yang tidak menerapkan hal itu dan tetap terlibat dalam kerumunan tertentu.

Hal ini kemudian memantik ide sekelompok mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) mengembangkan sistem deteksi kerumunan guna mencegah penularan Covid-19. Ketua tim peneliti, Zulfa Andriansyah mengatakan, sistem yang dikembangkan ini dapat mendeteksi adanya kerumunan sekaligus menampilkan informasi kapan dan di mana kerumunan terjadi.

"Sistem ini kami beri namanama Syncrom atau kepanjangan dari System of Detection and Crowd Mapping," kata Zulfa dalam keterangan pers kepada Republika pada Rabu (4/8).

Sistem ini sendiri dibuat berbasis Deep Learning dan WebGIS. Dengan begitu, sistem ini dapat mendeteksi adanya kerumunan dengan menyajikan infromasi jumlah massa dan menampilkan visualisasi kondisi di lapangan baik waktu dan tempat terjadinya kerumunan secara near realtime (mendekati realtime).

“Dengan platform ini sistem pemantauan bisa dilakukan secara terus-menerus selama 24 jam. Data terus diupdate setiap 30 detik,” kata mahasiswa Fakultas Geografi UGM tersebut.

Selain itu, Syncrom juga dilengkapi dengan fitur peringatan dini adanya kerumunan. Peringatan adanya kerumunan di lokasi terdeteksi akan disampaikan melalui pengeras suara secara otomatis.

Sistem ini sendiri bisa mendeteksi kerumunan melalui input data visual yang diproleh melalui CCTV lewat web cam yang terhubung dengan komputer lokal yang sebelumnya telah diprogram dengan deep learning untuk mendeteksi keberadaan manusia dan memprediksi kerumunan di suatu lokasi. Setelah itu, input akan dianalisis dan hasil data dikirimkan ke WebGIS dalam bentuk informasi terkait lokasi, waktu dan jumlah kejadian kerumunan.

“Jika data yang muncul menunjukkan adanya kerumunan maka voice alert akan berbunyi untuk memberikan peringatan,” jelasnya.

Nantinya, tim ini juga akan menambahkan fitur berupa text alert untuk mempermudah petugas dalam pemantauan. Misalnya, ketika petugas sedang tidak berada di ruang kontrol tetap dapat menerima informasi melalui SMS atau telegram apabila terjadi kerumunan.

“Saat ini belum ada produk yang mengintegrasikan  deteksi kerumunan dengan pemetaan yang juga disertai dengan adanya peringatan dini. Biasanya deteksi kerumunan dengan memakai sensor proximity menggunakan perangkat pengguna seperti smart phone,” terangnya.

Syncrom sendiri dikembangkan oleh Zulfa bersama dengan keempat rekannya yaitu M. Ihsanur Adib (Kartografi dan Penginderaan Jauh), Wahyu Afrizal Bahrul Alam (Teknologi Informasi), Malik Al-Aminullah Samansya (Teknik Nuklir), dan Najmuddin Muntashir ‘Abdussalam (Teknik Industri) di bawah bimbingan Dr. Taufik Hery Purwanto, M.Si. Purwarupa ini lahir lewat Program Kreativitas Mahasiswa bidang Karsa Cipta (PKM-KC) tahun 2021 yang memperoleh dana hibah pengembangan sebesar Rp 9 juta.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement