REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengungkapkan pembangunan kembali rumah rusak bagi warga Nusa Tenggara Barat (NTB) masih terus dilakukan pemerintah pascagempa pada 5 Agustus 2018.
"Data BNPB per 9 Juli 2021 mencatat total rumah selesai sejumlah 211.820 unit dan rumah dalam proses pengerjaan sejumlah 14.610 unit. Jumlah rumah rusak tersebut merupakan total kerusakan yang dipicu oleh gempa sejak 29 Juli 2018 hingga 19 Agustus 2018," kata Plt. Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB Abdul Muhari dalam keterangan pers, Kamis (5/8).
Muhari menyampaikan, pembangunan rumah kembali dengan struktur tahan gempa sangat dibutuhkan oleh masyarakat NTB. Hal tersebut tidak terlepas dari kondisi alam NTB yang memiliki potensi bahaya gempa bumi. Catatan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Pulau Lombok merupakan kawasan seismik aktif.
"Ada dua pembangkit gempa dari sisi selatan, yaitu zona subduksi lempeng Indo-Australia dan sisi utara, struktur geologi sesar naik Flores. Kondisi ini perlu disikapi masyarakat setempat dengan saksama. Masyarakat telah belajar, kekuatan gempa dapat memberikan katastrofe (bencana) di wilayahnya," ujar Muhari.
Selain itu, Muhari menyebut upaya nonstruktural perlu menjadi perhatian masyarakat hingga tingkat keluarga. Beberapa faktor dapat mempengaruhi tingkat risiko di dalam keluarga, misalnya tingkat pengetahuan cara evakuasi, identifikasi titik aman di dalam rumah, anggota keluarga yang disabilitas atau kurangnya latihan menghadapi gempa.
"Gempa tiga tahun lalu itu telah memberikan banyak pembelajaran, mulai dari penanganan darurat bencana, proses pemulihan hingga membangun kesadaran dan resiliensi masyarakat dalam menghadapi bencana," ucap Muhari.
Guncangan kuat melanda wilayah NTB pada 3 tahun lalu. Gempa dengan magnitudo (M)6,9 ini mengakibatkan 137.658 rumah rusak. BNPB mencatat total jumlah korban meninggal mencapai 564 jiwa, luka-luka 1.883 dan mengungsi lebih dari 390 ribu jiwa pada serangkaian gempa NTB waktu itu.