Kamis 05 Aug 2021 16:35 WIB

Juli 2021, Juli Terpanas Ketiga Sepanjang Catatan Sejarah

Juli 2021 di berada di urutan ketiga setelah 2019 dan 2016.

Rep: Lintar Satria/ Red: Dwi Murdaningsih
 Seorang wanita menggunakan payung untuk melindungi dirinya dari sinar matahari di Tokyo, Jepang, 25 Juli 2021. Kondisi panas yang parah mempengaruhi para atlet karena suhu mencapai 35 derajat dengan kelembaban melebihi 70 persen di Olimpiade Tokyo 2020.
Foto: EPA/FRANCK ROBICHON
Seorang wanita menggunakan payung untuk melindungi dirinya dari sinar matahari di Tokyo, Jepang, 25 Juli 2021. Kondisi panas yang parah mempengaruhi para atlet karena suhu mencapai 35 derajat dengan kelembaban melebihi 70 persen di Olimpiade Tokyo 2020.

REPUBLIKA.CO.ID, BRUSSELS--Ilmuwan Uni Eropa mengatakan bulan lalu menjadi salah satu Juli terpanas yang pernah tercatat. Panas bulan Juli 2021 berada di urutan ketiga setelah 2019 dan 2016. Suhu udara tidak biasa terjadi di berbagai wilayah mulai dari Finlandia hingga Amerika Serikat (AS).

Hal ini menjadi catatan terbaru dampak jangka panjang pemanasan global. Emisi gas rumah kaca mengubah iklim bumi, sehingga tujuh tahun terakhir menjadi tahun-tahun terpanas yang pernah tercatat.

Baca Juga

"Ketika kita melihat suhu global, terjadi perubahan dari tahun ke tahun bahkan dari bulan ke bulan," kata ilmuwan senior Badan Perubahan Iklim Uni Eropa Copernicus, Freja Vamborg, Kamis (5/8).

"Namun pada akhirnya, hal mendasar yang kami lihat adalah pemanasan global dan di sebagian besar wilayah di dunia," katanya.

Copernicus mengatakan suhu udara bulan lalu hanya sedikit di atas Juli 2020, dibelakang 2019 dan 2016. Bulan Juli terpanas di Eropa kedua setelah 2010. Catatan suhu udara Copernicus dari tahun 1950 tapi diperiksa lagi sampai pertengahan abad ke-19.

Para ilmuwan menyimpulkan bulan lalu beberapa wilayah di berbagai belahan dunia mengalami cuaca ekstrem. Pemanasan global membuat gelombang panas terjadi lebih sering dan lebih panas. Bumi yang memanas memicu hujan lebat.

Panas yang memecahkan rekor di Amerika Serikat dan Kanada yang dimulai bulan Juni telah menewaskan ratusan orang dan memicu kebakaran hutan. Hujan deras di Cina, Belgia dan Jerman menyebabkan banjir bandang.

Copernicus mengatakan wilayah tropis di sebelah utara Australia mencapai titik terpanasnya bulan lalu. Sementara 'hampir di mana-mana' suhu udara di Afrika Utara lebih panas dibandingkan biasanya. Sebagian wilayah menjadi lebih dingin dibandingkan biasanya seperti Jerman dan sebagian Rusia.

Direktur pusat kajian perubahan iklim Grantham Institute di Imperial College London, Rafl Toumi mengatakan ledakan suhu udara yang memecahkan rekor bukan sesuatu yang mengejutkan. Mengingat pola kenaikan suhu udara sudah berlangsung sejak lama.

"Ini perjudian yang terus kita mainkan, dan kita hanya mengambil angka lebih tinggi lagi dan lagi," katanya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement