Kamis 05 Aug 2021 21:18 WIB

Anggota DPD tak Yakin PDIP-Golkar Dukung Presiden 3 Periode

Anggota DPD menilai masyarakat akan tolak keras masa jabatan presiden diperpanjang.

Abdul Rachman Thaha
Foto: Dok pribadi
Abdul Rachman Thaha

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komite I DPD RI, Abdul Rachman Thaha, mengomentari hasil survei lembaga Indostrategic yang menyimpulkan bahwa responden pendukung partai besar seperti PDIP dan Golkar mendukung wacana masa jabatan presiden tiga periode. Menurutnya, survei itu tidak mencerminkan keinginan politik Golkar dan PDIP yang sebenarnya.

Thaha mengatakan, sebagai dua parpol besar, PDIP dan Golkar tentu memiliki fatsoen politik kebangsaan yang kental. Jauh lebih kental ketimbang politik kekuasaan. "Jadi, kontras dengan hasil survei itu, Golkar dan PDIP tentunya telah meradar calon-calon presiden mendatang sebagai manifestasi betapa kedua parpol itu bersikukuh bahwa masa jabatan presiden maksimal dua periode atau sepuluh tahun," ujarnya dalam keterangan tertulis, Kamis (5/8).

Baca Juga

Selain itu, Menurutnya PDIP dan Golkar juga akan mempertimbangkan sikap masyarakat terkait perpanjangan masa jabatan presiden menjadi tiga periode. Ia menilai, besar kemungkinan masyarakat luas akan menolak masa jabatan presiden diubah menjadi tiga periode.

"Pada satu sisi, masyarakat akan menolak," ucapnya.

Thaha melanjutkan, meski begitu jika akhirnya Golkar benar-benar setuju perpanjangan masa jabatan presiden, menurutnya hal itu tidak mengejutkan. Karena Golkar pernah menikmati masa berpuluh-puluh tahun sebagai partai penguasa pada masa lalu. Namun, tentu saja hal itu akan menjadi citra negatif bagi Golkar.

"Bersikap mendukung perpanjangan masa jabatan presiden, itu akan publik tafsirkan sebagai ambisi Golkar membetot masa depan Indonesia kembali ke masa silam," katanya.

Ia mengatakan, begitu pula dengan PDIP jika akhirnya benar-benar mendukung wacana presien tiga periode. Menurutnya, PDIP bisa saja terinspirasi oleh status Bung Karno sebagai sosok yang pernah didaulat sebagai presiden seumur hidup. 

"Status itu tidak menjadi kenyataan. Jadi, merealisasikan target seumur hidup itu seolah ingin dicapai PDIP lewat sosok Jokowi. Dengan demikian, upaya menahan Jokowi lebih lama lagi di kursi kepresiden akan diartikan khalayak luas sebagai hasrat PDIP membawa mimpi masa silam ke masa depan Indonesia," katanta lagi.

Secara pribadi, Thaha menentang keras penambahan masa jabatan presiden. Ia mengatakan, pemikiran bahwa  Indonesia seolah akan maju jika hanya dipimpin oleh orang yang sama harus dihentikan.  Menurutnya, masa jabatan presiden tetap harus dibatasi, dan Indonesia harus punya figur baru pemimpin nasional. 

"Semakin kuat keharusan bagi kita untuk berikhtiar sekuat tenaga bahwa tahun 2024 nanti Indonesia memiliki duet presiden dan wakil presiden baru. Duet yang memulihkan harapan kita akan pemberantasan korupsi, pemulihan ekonomi, pengelolaan BUMN yang efektif dan terpercaya, penegakan hukum yang tidak tebang pilih, serta pembenahan situasi lewat kerja nyata," tegasnya.

Ia menambahakan, pemimpin seperti itu bisa datang dari mana saja. Tidak harus dari partai politik. Orang-orang yang potensial dan beritikad baik bagi republik, betapa pun dia tidak pernah masuk ke dalam partai politik, harus diberikan karpet merah untuk masuk ke istana negara.

"Dia yang tidak berparpol bahkan boleh jadi merupakan orang yang sungguh-sungguh kuat. Bukan orang yang lemah, namun didorong-dorong menjadi presiden, karena gampang dipegang kepalanya," imbuhnya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement