Jumat 06 Aug 2021 05:05 WIB

Ketika Hukum Menikah Menjadi Makruh

Hanya ada dua mazhab yang memandang sebuah pernikahan bisa dihukumi makruh.

Rep: Mabruroh/ Red: Ani Nursalikah
Ketika Hukum Menikah Menjadi Makruh. Pengantin wanita muslim mengenakan pakaian pengantin tradisional pada acara nikah massal di Mumbai India.
Foto: EPA-EFE/DIVYAKANT SOLANKI
Ketika Hukum Menikah Menjadi Makruh. Pengantin wanita muslim mengenakan pakaian pengantin tradisional pada acara nikah massal di Mumbai India.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pernikahan merupakan salah satu ibadah sunnah yang dianjurkan Rasulullah SAW. Namun, karena sunnah, bukan lantas tergesa-gesa dalam melangsungkan pernikahan.

Sebab, pernikahan bukanlah cara satu-satunya untuk terhindar zina. Pernikahan akan menjadi ladang pahala, makruh, bahkan haram tergantung kondisinya.

Baca Juga

Imam Syafi'i dan Imam Maliki dalam buku Nikah Sebaiknya Kapan? oleh Ahmad Zarkasih menyebutkan nikah hukumnya menjadi makruh, yaitu sebaiknya agar tidak menikah. Hanya ada dua mazhab yang memandang sebuah pernikahan bisa dihukumi makruh apabila dilakukan, yakni mazhab Syafi'i dan Maliki. 

Dalam mazhab Syafi'i, menikah hukumnya menjadi makruh apabila berada dalam dua kondisi. Pertama, ketika seseorang tidak mempunyai ketertarikan hubungan senggama dengan wanita dan ia juga tidak mempunyai biaya serta nafkah yang terjamin. Imam Nawawi dalam kitab Minhaj al-Thalibin mengatakan, "Jika ia termasuk orang yang tidak butuh kepada jima’, dan ia tidak punya biaya, pernikahan hukumnya makruh."

Kondisi kedua adalah ketika seorang laki-laki punya biaya dan cukup mampu menafkahi keluarga, akan tetapi ia punya penyakit permanen yang membuatnya terhalang memiliki keturunan. Imam Nawawi mengatakan, "Kalau ia punya kecukupan, tapi punya penyakit, seperti tua atau cacat permanen atau juga impoten, dimakruhkan menikah."

Sedangkan menurut Madzhab Maliki, menikah juga bisa menjadi makruh jika dilakukan oleh orang yang tidak bersyahwat dan dengan menikah pun ia terputus dengan ibadahnya. Imam al-Ru’ainiy dalam kitabnya Mawahib al-Jalil menyebutkan, "Dan dimakruhkan menikah bagi orang yang tidak mempunyai nafsu syahwat kepada wanita, dan pernikahannya membuatnya tidak beribadah (sunnah). Tetapi jika pernikahan itu tidak membuatnya berhenti beribadah, maka nikah menjadi sunnah."

Zarkasih menyebutkan apabila pernikahan itu tidak memiliki tujuan dan dia pun tidak bisa beribadah karena tidak adanya tujuan dalam pernikahan tersebut, itulah makruh. Namun, jika ia menikah walaupun tidak tertunaikan tujuannya, yakni melahirkan keturunan, namun dengan begitu ia masih tetap bisa beribadah yang sunnah, maka pernikahan tersebut justru menjadi kebaikan tambahan baginya, tidak lagi jadi makruh. 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَلَقَدْ اَرْسَلْنَا رُسُلًا مِّنْ قَبْلِكَ مِنْهُمْ مَّنْ قَصَصْنَا عَلَيْكَ وَمِنْهُمْ مَّنْ لَّمْ نَقْصُصْ عَلَيْكَ ۗوَمَا كَانَ لِرَسُوْلٍ اَنْ يَّأْتِيَ بِاٰيَةٍ اِلَّا بِاِذْنِ اللّٰهِ ۚفَاِذَا جَاۤءَ اَمْرُ اللّٰهِ قُضِيَ بِالْحَقِّ وَخَسِرَ هُنَالِكَ الْمُبْطِلُوْنَ ࣖ
Dan sungguh, Kami telah mengutus beberapa rasul sebelum engkau (Muhammad), di antara mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan di antaranya ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu. Tidak ada seorang rasul membawa suatu mukjizat, kecuali seizin Allah. Maka apabila telah datang perintah Allah, (untuk semua perkara) diputuskan dengan adil. Dan ketika itu rugilah orang-orang yang berpegang kepada yang batil.

(QS. Gafir ayat 78)

Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement