REPUBLIKA.CO.ID -- Oleh Syahrudin El-Fikri
Kedatangan agama Islam di tanah Jawa membawa bermacam-macam produk budaya dari pusat penyebaran Islam. Di antara produk budaya yang dibawa Islam ketika itu adalah sistem penanggalan berdasarkan revolusi bulan terhadap bumi (qomariah), yang dikenal dengan penanggalan hijriyah.
Sesungguhnya, masyarakat Jawa sendiri sudah punya sistem penanggalan yang mapan, yaitu penanggalan saka. Ada beberapa perbedaan antara kalender saka dengan kalender hijriyah, seperti perbedaan nama-nama bulan dan penetapan permulaan hari. Namun kemudian, terjadi percampuran kedua kalender--kalender Jawa-Islam--yang masih digunakan hingga saat ini.
Percampuran ini memunculkan sejumlah pertanyaan. Apakah telah terjadi Jawanisasi Islam atau Islamisasi Jawa? Lalu, jika memang telah terjadi percampuran, bagaimana proses itu berjalan sehingga tidak menimbulkan penolakan terhadap ajaran Islam yang ketika itu masih relatif baru?
Tema perbincangan seputar percampuran Jawa-Islam ini sangat menarik. Karena, di satu sisi, itu menunjukkan sikap terbuka masyarakat Jawa. Di sisi lain, hal itu membuktikan Islam sebagai agama rahmatan li al-alamin (rahmat bagi seluruh alam).
Menurut sejarah, munculnya kalender Jawa-Islam tidak lepas dari peran Sultan Agung (1613-1645), sultan Mataram Islam ketiga yang bergelar Senapati Ing Alaga Sayiddin Panatagama Kalifatullah.
Beliau mengakulturasikan (menggabungkan) penanggalan Jawa (saka) yang berdasarkan sistem kalender matahari dan bulan (kalender lunisolar) dengan penanggalan hijriyah. Menurut Prof Dr MC Ricklefs, dalam artikelnya "Pengaruh Islam terhadap Budaya Jawa Terutama pada Abad ke XIX", upaya percampuran itu terjadi pada tahun 1633 M.
Ricklefs mengisahkan, pada tahun 1633 M, Sultan Agung berziarah ke pesarean (kuburan) Sunan Bayat di Tembayat. Disebutkan dalam Babad Nitik, Sultan Agung diterima oleh arwah Sunan Bayat. Sultan Agung yang masih berada di pesarean Tembayat diperintahkan untuk mengganti kalender Jawa.
Sebelum itu, kalender saka (yang berasal dari kebudayaan Hindu) adalah kalender yang masih dipakai dalam lingkungan keraton. Kemudian, kalender itu diganti dengan kalender qamariah yang berisi bulan-bulan Islam. Maka, terciptalah kalender baru yang unik, yaitu kalender Jawa-Islam.
Bulan-bulan dalam kalender Jawa-Islam adalah Sura, Sapar, Mulud, Bakda Mulud, Jumadilawal, Jumadilakir, Rejeb, Ruwah, Pasa, Sawal, Sela, dan Besar. Ada bulan yang masih menggunakan istilah Arab, yaitu Jumadilawal dan Jumadilakir.
Warna Jawa pada kalender Jawa-Islam lebih kentara pada lima hari pasar atau Pancawara (Pahing, Pon, Wage, Kliwon, dan Legi). Menurut Dr Purwadi, peneliti budaya Jawa asal Yogyakarta, lima hari pasar sangat penting bagi aktivitas sosial dan ekonomi masyarakat Jawa, terutama bagi mereka yang hidup di pedesaan atau yang masih memegang kepercayaan tradisional.
''Coba, kita lihat bagaimana masyarakat Jawa mendasarkan aktivitasnya pada lima hari pasar itu. Kalau mau bepergian, mereka terlebih dahulu menghitung hari baik, apakah Pon, Wage, Kliwon, atau hari lainnya,'' ungkapnya kepada Republika.
Menurut Purwadi, dari kalangan umat Islam sendiri, umat nahdliyin adalah umat yang masih kuat menggunakan penanggalan Jawa-Islam. ''Pada papan pengumuman di masjid-masjid NU, biasanya terdapat jadwal khatib Jumat berdasarkan hari-hari pasaran. Misalnya, pada Jumat Pon yang khatib adalah kiai A, Jumat Wage kiai B, Jumat Kliwon kiai C dan seterusnya,'' lanjutnya.
Lima hari pasar juga sangat penting dalam kegiatan perekonomian masyarakat Jawa sehingga seseorang akan melakukan aktivitas ekonomi pada hari tertentu dan tidak melakukannya pada hari lain. Hal itu tercermin pada nama-nama pasar di daerah-daerah Jawa. Ada Pasar Legi, Pasar Kliwon, dan Pasar Wage.
Ini berbeda dengan masyarakat Melayu yang menamakan pasar dengan nama-nama hari biasa, seperti Pasar Jumat, Pasar Rabu, atau Pasar Minggu. Menurut Purwadi, sistem penanggalan Jawa-Islam akan tetap dipakai oleh umat Islam Jawa karena di dalamnya terdapat kepercayaan-kepercayaan mistis.
Teknologi informasi saat ini malah semakin menguatkan fungsi klasifikasi Pancawara itu. Contohnya, iklan yang ditayangkan di televisi lebih banyak iklan tentang kepercayaan Jawa, seperti Primbon, Ramal, Manjur, dan lainnya. Fenomena ini diakui Purwadi sebagai desakralisasi sistem Pancawara. Di sisi lain, itu menunjukkan kepercayaan masyarakat pada hal-hal mistis tetap kuat.
Artikel ini dimuat Koran REPUBLIKA pada Ahad 3 Mei 2009