Jaksa Agung Akhirnya Pecat Pinangki dengan Tidak Hormat
Rep: Bambang Noroyono/ Red: Agus raharjo
Terdakwa kasus dugaan suap dan gratifikasi pengurusan fatwa Mahkamah Agung (MA) Djoko Tjandra, Jaksa Pinangki Sirna Malasari mengikuti sidang di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (7/12/2020). Sidang itu beragenda mendengarkan keterangan saksi-saksi. | Foto: Antara/Rivan Awal Lingga
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin akhirnya resmi memecat terpidana Pinangki Sirna Malasari sebagai jaksa, maupun sebagai pegawai negeri sipil (PNS) di Kejaksaan Agung (Kejakgung). Pemecatan tersebut tertuang dalam keputusan Jaksa Agung Nomor 185/2021 yang diundangkan, Jumat (6/8).
Kepala Pusat Penerangan dan Hukum Kejakgung Leonard Ebenezer Simanjuntak mengatakan, pemecatan memastikan hak-hak jabatan yang melekat terhadap Pinangki sudah dilucuti tuntas.
“Dengan keputusan Jaksa Agung tersebut, isinya memberhentikan dengan tidak hormat pegawai negeri sipil atau PNS, atas nama DR Pinangki Sirna Malasari SH, MH,” kata Ebenezer dalam konferensi pers daring dari Jakarta, Jumat (6/8).
Ebenezer menjelaskan, setidaknya tiga dasar hukum, dan pertimbangan pemecatan dengan cara tak hormat terhadap Pinangki. Kata dia, dasar utama, terkait dengan putusan Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta. Dalam putusan nomor 10/Pidsus_TPK/2021/PTDKI 14 Juni tersebut, dikatakan Pinangki terbukti melakukan tindak pidana korupsi. Yaitu, berupa penerimaan suap dan gratifikasi. Kata Ebenezer, dikatakan pula dalam putusan majelis hakim tinggi, Pinangki terbukti melakukan tindak pidana kejahatan jabatan.
“Di mana putusan tersebut, sudah berkekuatan hukum tetap, atau inkrah,” ujar Ebenezer.
Pertimbangan lainnya, terkait dengan Pasal 87 ayat 4 huruf b Undang-undang Aparatus Sipil Negara (UU ASN), dan Pasal 250 huruf b Peraturan Pemerintah (PP) 11/2017, dan 17/2020 tentang Manajemen ASN. Ebenezer menjelaskan beleid tersebut mengatur tentang pemberhentian tidak hormat terhadap PNS yang menjalani hukuman penjara atas putusan pengadilan.
“Ditentukan dalam aturan tersebut, PNS diberhentikan tidak dengan hormat apabila dihukum penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang inkrah, karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan,” tegas Ebenezer.
Ebenezer mengatakan, dengan pertimbangan tersebut, Jaksa Agung Burhanuddin menerbitkan keputusan untuk memecat Pinangki, sebagai jaksa, maupun PNS di Kejakgung dengan cara tak hormat. Menurut Ebenezer, pemecatan tersebut juga memastikan polemik tentang penerimaan upah, maupun hak tunjangan untuk Pinangki sudah tak lagi ada.
Sebab kata dia, terkait dengan hak-hak tersebut, pun Kejakgung, sejak September 2020, sudah tak lagi memberikan hak-hak pengupahan terhadap Pinangki. “Fasilitas negara yang selama ini melekat bersama Pinangki sebagai pejabat Eselon IV, sudah tidak lagi melekat,” kata Ebenezer.
Sebelumnya, Pinangki adalah jaksa yang menjabat Kepala Sub Baguan Pemantauan dan Evaluasi II Biro Perencanaan, dengan golongan PNS, Eselon IV. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (PN Tipikor) Jakarta, menghukumnya 10 tahun penjara karena terbukti menerima suap, dan gratifikasi senilai 500 ribu dolar AS, atau setara Rp 7,5 miliar, dari janji 1 juta dolar pemberian terpidana korupsi Djoko Tjandra. Hakim juga menyatakan Pinangki melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU).
Putusan dari PN Tipikor tersebut, berkurang setelah Pinangki mengajukan banding. Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta, merabat hukuman Pinangki, menjadi hanya empat tahun penjara. Jaksa penuntutan dari Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), maupun Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Pusat, menerima pengurangan hukuman tersebut, dengan menyatakan tak mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Pekan lalu, Pinangki sudah dieksekusi ke Penjara Perempuan dan Anak Kelas II B di Tangerang.