REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo terus mendorong komoditas hortikultura agar mampu bersaing di kancah internasional. Mendukung hal itu, Direktorat Jenderal Hortikultura terus berupaya menderaskan informasi tentang pentingnya tata kelola budi daya yang baik atau good agricultural practices (GAP). Salah satu upaya untuk sosialisasi GAP adalah melalui bimbingan teknis (bimtek) Virtual Literacy bertajuk "Dengan GAP, Cabai Indonesia Berani Bersaing", yang diselenggarakan secara daring melalui Zoom dan YouTube Live.
Dalam bimtek tersebut, Direktur Jenderal Hortikultura, Prihasto Setyanto menyampaikan bahwa di era perdagangan global ini, hambatan untuk bersaing di pasar luar negeri tidak hanya pada tarif saja, tetapi juga hambatan teknis berupa persyaratan mutu dan keamanan pangan. Apalagi di tengah kondisi pandemi Covid-19 ini, masyarakat lebih berhati-hati dalam memilih produk pangan agar aman dikonsumsi. Oleh karena itu, GAP penting untuk diterapkan agar produk yang dihasilkan aman dikonsumsi, bermutu baik, dibudidayakan secara ramah lingkungan, serta berdaya saing di pasar dalam maupun luar negeri.
Beberapa negara di dunia telah memiliki GAP masing-masing, misalnya Q GAP (Q Mark) di Thailand, NZGAP di New Zealand, dan GAP-VF Logo di Singapura. Indonesia pun memiliki IndoGAP yang telah diharmonisasikan secara regional dan internasional. IndoGAP menjadi landasan aturan budi daya hortikultura yang baik sehingga menghasilkan produk sayuran yang aman konsumsi, bermutu baik, dibudidayakan secara ramah lingkungan dan berdaya saing.
Sesuai dengan perkembangan dinamika, telah dikeluarkan Permentan No 22 Tahun 2021 tentang Praktik Budi Daya Hortikultura yang Baik. Permentan ini telah diharmonisasikan dengan ASEAN GAP yang mana bertujuan agar produk hortikultura terutama cabai yang ditanam petani di negara ASEAN memiliki mutu yang sama, sehingga perdagangan di wilayah ASEAN lebih mudah dilakukan.
Koordinator LPHP DIY, Paryoto menekankan bahwa kunci utama penerapan GAP dalam budi daya cabai adalah penerapan budi daya ramah lingkungan. Ada 4 (empat) pendekatan kunci budi daya cabai ramah lingkungan yang wajib ditangani, yaitu membangun komitmen dan persepsi yang sama, penguatan agroekosistem dengan penggunaan pupuk organik dan refugia, revitalisasi kelembagaan petani, serta kegiatan yang terdokumentasi atau pencatatan.
"Jika keempat kunci tersebut terlaksana dengan baik, maka dapat ditelusuri bagaimana produk hortikultura itu dibudidayakan," papar Paryoto, dalam siaran persnya, Senin (9/8).
Hal menarik lainnya yang disampaikan oleh Paryoto adalah penerapan budi daya cabai ramli dengan memanfaatkan tanaman-tanaman di lingkungan sekitar, seperti tanaman refugia (bunga pacar air dan putri malu). Tanaman tersebut dapat menghasilkan nektar sebagai sumber makanan untuk parasitoid, sehingga parasitoid semakin banyak bertelur maka semakin banyak hama yang terparasit lalu mati.
Penerapan budi daya cabai ramli juga harus didukung dengan pemilihan benih berkualitas. Benih berkualitas dapat membantu mengurangi penggunaan pestisida kimia sehingga cabai yang dihasilkan bermutu dan aman konsumsi. Selain itu, pengecekan pH tanah serta C/N rasio harus dilakukan agar tanaman cabai tumbuh secara maksimal. Bila C/N rasio berada sekitar 8-12, maka seluruh unsur hara yang diperlukan tanaman sudah tersedia terutama bila rutin diberikan pupuk organik.