REPUBLIKA.CO.ID, BANGKOK -- Pemerintah Thailand membatalkan aturan yang memperluas kemampuannya membatasi laporan media dan posting media sosial tentang pandemi virus corona, Selasa (10/8). Keputusan ini dilakukan setelah mendapatkan berbagai kritikan dari berbagai pihak.
Perdana Menteri Thailand Prayuth Chan-ocha telah lama berusaha untuk menindak informasi yang dianggap berita palsu. Namun dia melangkah lebih lanjut dengan menerapkan peraturan baru yang diberlakukan pada akhir bulan lalu. Aturan ini termasuk kemampuan untuk menuntut orang karena menyebarkan berita yang dapat menyebabkan ketakutan publik.
Aturan itu juga memberi regulator Thailand kemampuan untuk memaksa penyedia layanan internet untuk menyerahkan alamat IP orang atau entitas yang mendistribusikan berita semacam itu. Pemerintah pun bisa memerintahkan untuk segera menangguhkan layanan internet ke alamat IP itu.
Thailand sedang berjuang dengan gelombang terburuk pandemi virus corona. Prayuth mengatakan peraturan baru diperlukan untuk memerangi penyebaran desas-desus yang tidak akurat. Menurutnya informasi itu dapat menghambat upaya pemerintah untuk memvaksinasi penduduk dan menerapkan langkah-langkah untuk memperlambat pandemi.
Tapi organisasi media Thailand mengatakan, pembatasan itu terlalu luas dan merupakan serangan terhadap kebebasan berekspresi. Aturan tersebut memberikan izin kepada pihak berwenang untuk menindak publik atau organisasi berita karena menerbitkan laporan faktual yang tidak disukai pemerintah.
Sekelompok organisasi media mengajukan banding atas tindakan tersebut. Pekan lalu, pengadilan mengeluarkan perintah sementara terhadap penegakan peraturan sampai kasus tersebut dapat disidangkan.
Hanya saja, kondisi pandemi membuat ketidakjelasan kapan kasus tersebut dapat disidangkan. Menurut pengumuman resmi yang diterbitkan di Royal Thai Government Gazette, Prayuth malah memutuskan untuk mencabutnya.
Sebelum The Gazette diterbitkan, partai-partai oposisi Thailand mengajukan pengaduan ke Komisi Nasional Anti-Korupsi menuduh Prayuth menyalahgunakan kekuasaannya. Dia diduga melanggar jaminan konstitusional kebebasan berbicara dengan peraturan baru.
Jika komisi tersebut menanyai Prayuth dan menyatakan bersalah, maka komisi tersebut akan mengirimkan kasus tersebut ke Mahkamah Agung negara. Pada gilirannya dapat menangguhkan Prayuth dari jabatannya saat kasus tersebut disidangkan. Namun, dengan keputusannya untuk mencabut peraturan tersebut, tidak jelas apakah komisi antikorupsi akan menerima pengaduan yang sudah masuk.