REPUBLIKA.CO.ID, BANGKOK -- Polisi Thailand membela keputusan untuk menggunakan kekuatan terhadap pengunjuk rasa sebagai tindakan keamanan yang diperlukan. Tindakan keras oleh aparat keamanan dibenarkan mengingat akan lebih banyak demonstrasi turun menuntut pemecatan Perdana Menteri Prayuth Chan Ocha karena dinilai salah urus krisis virus Corona.
Polisi menembakkan gas air mata, meriam air, dan peluru karet buat membubarkan pengunjuk rasa yang berkumpul di dekat kediaman Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha pada Selasa (10/8). Sementara para pengunjuk rasa terus menyerukan demonstrain lain ke kediaman Prayuth pada Rabu.
Unjuk rasa dilakukan untuk menunjukkan kemarahan mereka atas wabah yang telah mencatat rekor kematian dalam beberapa hari terakhir. Polisi mengatakan, sembilan petugas terluka, satu dengan tembakan di kaki. Sementara delapan lainnya terluka oleh petasan, batu dan pecahan peluru dari bom rakitan yang dibuat menggunakan bola pingpong.
Sebanyak dua kotak lalu lintas polisi dibakar dan properti publik lainnya dirusak. "Polisi memutuskan untuk menggunakan gas air mata, meriam air dan peluru karet karena kami menganggap jika tidak, akan ada lebih banyak kerusakan," kata kepala polisi Bangkok Pakapong Pongpetra dalam konferensi pers.
Ribuan pengunjuk rasa melaju dalam konvoi mobil dan sepeda motor melalui Bangkok. Mereka berhenti di lokasi yang terkait dengan anggota kabinet atau pendukung Prayuth yang telah membela strateginya untuk memerangi virus. Pakapong mengatakan 48 orang ditangkap termasuk 15 pemuda dan 122 sepeda motor disita.
Gerakan yang dipimpin oleh pemuda ini mendapat dukungan luas selama berbulan-bulan demonstrasi besar. Gelombang oposisi telah melihat kebangkitan baru-baru ini bertepatan dengan wabah Covid-19 terburuk di negara itu. Virus Corona tercatat lebih dari 788 ribu kasus dan menyebabkan 6.700 meninggal di negara tersebut.