Kamis 12 Aug 2021 14:11 WIB

Data Kematian Covid-19 Agar Diperbaiki, Bukan Dihilangkan

Selain kematian, jumlah testing juga menjadi variabel dalam menentukan pembatasan.

Rep: Nawir Arsyad Akbar/ Red: Hiru Muhammad
 Pekerja membawa peti mati seseorang yang meninggal karena komplikasi penyakit COVID-19 saat pemakaman di pemakaman di Depok, Senin (9/8/2021). Pemerintah Indonesia belum memutuskan untuk melanjutkan atau melonggarkan penerapan pembatasan aktivitas masyarakat level 4 ( PPKM) yang akan berakhir pada 09 Agustus 2021. Tingginya angka kematian Covid-19 di Indonesia bahkan membuat Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memberikan catatan khusus.
Foto: EPA-EFE/ADI WEDA
Pekerja membawa peti mati seseorang yang meninggal karena komplikasi penyakit COVID-19 saat pemakaman di pemakaman di Depok, Senin (9/8/2021). Pemerintah Indonesia belum memutuskan untuk melanjutkan atau melonggarkan penerapan pembatasan aktivitas masyarakat level 4 ( PPKM) yang akan berakhir pada 09 Agustus 2021. Tingginya angka kematian Covid-19 di Indonesia bahkan membuat Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memberikan catatan khusus.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Wakil Ketua MPR Fraksi Partai Demokrat Syarief Hasan menyesalkan langkah pemerintah yang mengeluarkan indikator kematian dalam penilaian pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM). Sebaliknya, data tersebut harusnya menjadi salah satu landasan dalam menentukan level dan implementasi PPKM di berbagai daerah.

"Jika masalahnya adalah data kematian yang tidak update maka seharusnya kualitas datanya yang ditingkatkan, bukan data kematiannya yang tidak digunakan sebagai indikator dalam menentukan level dari PPKM," ujar Syarief lewat keterangan tertulisnya, Kamis (12/8).

Data angka kematian adalah indikator yang mesti ada dalam penilaian pembatasan. Dari sana, pemerintah dapat mengetahui seberapa besar dampak dari penyebaran Covid-19 di daerah-daerah. "Sehingga kita bisa mengambil sikap untuk melakukan pembatasan-pembatasan sesuai dengan perkembangan angka kematian dan angka positif harian," ujar Syarief.

Tidak hanya indikator kematian, jumlah orang yang dites atau testing juga perlu dijadikan variabel dalam menentukan pembatasan. Dengan begitu, pemerintah dapat mengetahui tingkat positif atau positivity rate di daerah-daerah.

Pemerintah yang menghilangkan indikator kematian dalam penilaian PPKM justru menunjukkan ketidakmampuannya. Tanda pemerintah tidak mampu membangun komunikasi dengan daerah dan tidak memiliki sistem database Covid-19 yang baik."Dari angka kematian, kita dapat mengetahui seberapa besar dampak dari penyebaran Covid-19 di daerah-daerah," ujar anggota Majelis Tinggi Partai Demokrat itu.

Juru Bicara Menteri Koordinator (Menko) Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Jodi Mahardi menjelaskan perihal tak dimasukkannya angka kematian dalam asesmen level Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Menurut dia, pemerintah bukannya menghapus data angka kematian, melainkan tak menggunakannya untuk sementara waktu guna menghindari distorsi penilaian.

"Bukan dihapus, hanya tidak dipakai sementara waktu karena ditemukan adanya input data yang merupakan akumulasi angka kematian selama beberapa minggu ke belakang, sehingga menimbulkan distorsi atau bias dalam penilaian," jelasnya dalam keterangan tertulis di Jakarta, Rabu (11/8).

Pemerintah, lanjut Jodi, menemukan bahwa banyak angka kematian yang ditumpuk-tumpuk atau dicicil pelaporannya, sehingga dilaporkan terlambat. "Jadi terjadi distorsi atau bias pada analisis, sehingga sulit menilai perkembangan situasi satu daerah," ujarnya.

 

 

 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement