REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG — Jaksa KPK menuntut tujuh tahun penjara terhadap Wali Kota Cimahi nonaktif, Ajay Priatna. Sidang tuntutan tersebut digelar di Pengadilan Tipikor Bandung, Kamis (12/8). Terdakwa yang dilantik sebagai wali kota pada Oktober 2017 hadir di ruang persidadangan dengan mengenakan kemeja putih lengan panjang.
"Menjatukan hukuman penjara selama tujuh tahun dan denda Rp 300 juta subsider enam bulan," kata Jaksa KPK, Budi Nugraha, saat membacakan tuntutannya, Kamis (12/8).
Jaksa KPK mengatakan, terdakwa terbukti menerima suap pembangunan Rumah Sakit Kasih Bunda di Cimahi. Perbuatan terdakwa, melanggar Pasal 12 huruf a dan Pasal 12 b UU 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 64 ayat (1) Jo Pasal 65 ayat (1) KUHP. "Berdasarkan bukti dan fakta di persidangan kami berkesimpulan seluruh pasal yang didakwakan terpenuhi dan terbukti sah," ujar Jaksa.
Menurut Jaksa, terdakwa terbukti menerima suap sebesar Rp 1,6 dari Hutama Yonathan (Direktur Utama PT Mitra Medika Sejati) dan juga pemilik RSU Kasih Bunda. Hutama sudah divonis bersalah. Uang dari Hutama, lanjut Jaksa, diberikan kepada terdakwa secara bertahap.
"Padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerak agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya," tutur dia.
Saat membacakan tuntutannya, Jaksa menyebutkan hal memberatkan dan meringankan. Hal yang memberatkan sebagai seorang pejabat negara terdakwa seharusnya mendukung upaya pemerintah dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Sedangkan hal yang meringankan, terdakwa belum pernah dihukum.
"Terdakwa mengetahui atau patut menduga bahwa hadiah berupa uang tersebut diberikan agar terdakwa tidak mempersulit perizinan pembangunan rumah sakit umum Kasih Bunda Kota Cimahi yang bertentangan dengan kewajiban terdakwa selaku penyelenggara negara," tutur Jaksa.
Selain menuntut hukuman penjara, Jaksa juga mengajukan pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik. Pidana tambahan hak untuk dipilih, imbuh dia, selaras dengan Pasal 18 ayat (1) huruf d UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor.
"Dapat disimpulkan untuk jabatan publik berupa dipilih sebagai kepala daerah yaitu gubernur, bupati, dan wali kota sudah dengan sendirinya terdakwa akan gugur," ujar Jaksa.