Sabtu 14 Aug 2021 08:57 WIB

Antivaksin Garis Keras, Ibu 6 Anak Berubah Pikiran

Seorang ibu 6 anak yang semula antivaksin berubah pikiran sejak pandemi.

Rep: Puti Almas/ Red: Reiny Dwinanda
Vaksin Covid-19. Pandemi Covid-19 membuat seorang ibu yang antivaksin berubah pikiran.
Foto: REPUBLIKA/ABDAN SYAKURA
Vaksin Covid-19. Pandemi Covid-19 membuat seorang ibu yang antivaksin berubah pikiran.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Seorang ibu dari enam anak bernama Alyssa Ruben selama ini memiliki pandangan anti terhadap vaksinasi. Anti-vaxxer, begitu julukan kelompok tersebut.

Bertahun-tahun, Alyssa memilih untuk tidak mendapatkan vaksin apapun. Ia juga mengajak orang lain untuk mengikuti jejaknya.

Baca Juga

Setelah adanya virus corona jenis baru (SARS-CoV-2) sebagai penyebab Covid-19, penyakit infeksi yang menjadi pandemi dunia sejak tahun lalu, pemikiran dari perempuan berusia 38 tahun ini pun berubah. Apa yang membuatnya berubah pikiran?

"Setelah Covid-19 terjadi, saya sadar bahwa pandangan saya tidak didasarkan pada sains atau fakta. Sekarang saya melakukan semua yang saya bisa untuk memperbaiki kesalahan yang telah saya buat," ujar Alyssa, dilansir Insider, Jumat (13/8).

Alyssa kemudian menceritakan bagaimana dirinya pertama kali bisa menjadi seorang anti-vaxxer garis keras. Saat itu, melalui internet, ia menemukan komunitas parenting dan bersamaan juga melihat komunitas antivaksin.

Karena kedekatan dengan orang-orang dalam komunitas tersebut, Alyssa mulai merasakan keraguan terhadap vaksin. Saat hamil anak pertamanya, ia berkonsultasi dengan seorang dokter bernama Mayer Eisenstein. Dokter peraih gelar master di bidang kesehatan masyarakat itu menganut paham natural dan sangat anti terhadap vaksinasi.

"Ketika saya bertanya tentang vaksin, ia meyakinkan dan memberi tahu bahwa vaksin tidak aman dan tidak perlu," jelas Alyssa yang merupakan salah satu pendiri kelompok natural-parenting, MommyCon.

Sejak itu, Alyssa semakin merasa bahwa keputusan untuk tidak memberikan vaksin kepada anak-anaknya kelak adalah hal yang tepat. Banyak teman-teman dalam komunitas pengasuhan yang diikutinya juga mendukung hingga dirinya semakin blak-blakan menentang vaksinasi.

Saat Covid-19 melanda AS dengan parah, Alyssa melihat keluarganya terkena penyakit wabah ini. Pamannya bahkan sampai bergantung dengan ventilator saat berjuang sembuh dari Covid-19 dan teman-temannya juga banyak yang positif Covid-19.

Alyssa juga menyaksikan betapa unit perawatan intensif (ICU) di rumah sakit di kota tempat tinggalnya di Amerika Serikat penuh, kewalahan menangani pasien Covid-19. Perawat dari kota lain pun berdatangan untuk membantu penanganan wabah di sana.

Sementara itu, teman-teman dalam komunitas daring yang diikutinya tetap mengatakan bahwa itu adalah sebuah kebohongan dan sebenarnya virus corona tak pernah ada. Mereka bahkan membahas teori konspirasi soal pandemi.

Kontradiksi itu kemudian memantik tumbuhnya keraguan terhadap kelompok yang diikuti Alyssa. Ia jadi mulai bertanya-tanya pada dirinya sendiri dan mencari tahu lebih banyak tentang vaksin. Ia kemudian menyadari bahwa apa yang telah dipikirkan selama ini adalah salah.

"Kalau tidak ada pandemi, mungkin saya tetap antivaksin," katanya.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement