REPUBLIKA.CO.ID,KABUL -- Saat itu sore hari, Zahra, ibu, dan tiga saudara perempuannya sedang dalam perjalanan untuk makan malam di rumah saudara perempuan lainnya ketika melihat orang-orang berlarian dan mendengar suara tembakan di jalan. "Taliban ada di sini!" ujar orang-orang berteriak.
Hanya dalam beberapa menit, segalanya berubah bagi penduduk Herat. Perempuan berusia 26 tahun dibesarkan di Afghanistan yang sebagian besar bebas Taliban. Kondisi perempuan berani memimpikan karier dan anak perempuan mendapat pendidikan.
Selama lima tahun terakhir, Zahra telah bekerja dengan organisasi nirlaba lokal untuk meningkatkan kesadaran bagi perempuan dan mendesak kesetaraan gender. Impian dan ambisinya runtuh pada Kamis (12/8) malam ketika Taliban menyerbu kota terbesar ketiga di Afghanistan. Milisi itu mengibarkan bendera putih di alun-alun pusat ketika orang-orang dengan sepeda motor dan mobil bergegas ke rumah masing-masing.
Seperti kebanyakan warga lainnya, Zahra, orang tua, dan lima saudara kandungnya kini meringkuk di dalam rumah, terlalu takut untuk keluar dan mengkhawatirkan masa depan. Saya sangat terkejut. Bagaimana mungkin saya sebagai perempuan yang telah bekerja keras dan berusaha untuk belajar dan maju, sekarang harus menyembunyikan diri dan tinggal di rumah?" katanya.
Matanya berlinang air mata saat Zahra mempertimbangkan kemungkinan bahwa dia tidak akan dapat kembali bekerja. Dia membayangkan bahwa saudara perempuannya yang berusia 12 tahun tidak dapat melanjutkan sekolah, saudara laki-lakinya tidak akan bisa bermain sepak bola atau bermain gitar dengan bebas lagi.
Zahra pun membuat daftar beberapa pencapaian yang dibuat oleh perempuan dalam 20 tahun terakhir sejak penggulingan Taliban, termasuk anak perempuan sekarang bersekolah, berada di Parlemen, pemerintah, dan bisnis.
Wakil direktur CARE International yang berbasis di Kabul, Marianne O'Grady, mengatakan langkah yang dibuat oleh perempuan selama dua dekade terakhir sangat dramatis, terutama di daerah perkotaan.Dia tidak dapat melihat hal-hal kembali seperti semula, bahkan dengan pengambilalihan Taliban.
"Anda tidak bisa tidak mendidik jutaan orang. Jika perempuan kembali ke balik tembok dan tidak bisa keluar terlalu banyak, setidaknya mereka sekarang dapat mendidik sepupu mereka dan tetangga mereka dan anak-anak mereka sendiri dengan cara yang tidak dapat terjadi 25 tahun yang lalu," ujar O'Grady.
Selama beberapa hari terakhir, Taliban telah melakukan serangan cepat dan sekarang menguasai lebih dari dua pertiga negara itu, hanya dua minggu sebelum Amerika Serikat (AS) berencana untuk menarik pasukan terakhirnya. Mereka pun perlahan mendekati ibu kota, Kabul.
Badan pengungsi PBB mengatakan, hampir 250.000 warga Afghanistan telah meninggalkan rumah sejak akhir Mei. Kondisi ini di tengah kekhawatiran Taliban akan menerapkan kembali interpretasi yang ketat dan kejam tentang Islam, termasuk dalam hak-hak perempuan. Sebanyak 80 persen persen dari warga yang mengungsi adalah perempuan dan anak-anak.
Kelompok tersebut memerintah negara itu selama lima tahun sampai invasi pimpinan AS 2001. Selama waktu itu, Taliban melarang anak perempuan mendapatkan pendidikan dan hak perempuan untuk bekerja.
Bahkan mereka menolak untuk membiarkan perempuan bepergian ke luar rumah tanpa seorang kerabat laki-laki untuk menemani. Taliban juga melakukan eksekusi publik, memotong tangan pencuri, dan melempari perempuan yang dituduh berzina dengan batu.
Belum ada laporan yang dikonfirmasi tentang tindakan ekstrem semacam itu di daerah-daerah yang baru-baru ini direbut oleh para Taliban. Namun milisi dilaporkan telah mengambil alih beberapa rumah dan membakar setidaknya satu sekolah.