Sabtu 14 Aug 2021 21:49 WIB
Hari Kemerdekaan Indonesia

Jalan Terjal Pendidikan Karakter Founding Father

Para founding father ikhlas mengabdikan diri tanpa pamrih untuk Indonesia merdeka.

HOS Tjokroaminoto Rumah HOS Tjokroaminoto di Jalan Peneleh VII No 29, Surabaya, Jawa Timur. Rumah yang kini menjadi museum itu menjadi saksi bagaimana Tjokroaminoto menempa murid-muridnya menjadi para pelaku sejarah hingga pemimpin bangsa lewat pendidikan karakter.
Foto: Antara/Zabur Karuru
HOS Tjokroaminoto Rumah HOS Tjokroaminoto di Jalan Peneleh VII No 29, Surabaya, Jawa Timur. Rumah yang kini menjadi museum itu menjadi saksi bagaimana Tjokroaminoto menempa murid-muridnya menjadi para pelaku sejarah hingga pemimpin bangsa lewat pendidikan karakter.

REPUBLIKA.CO.ID, Di tepi Sungai Kalimas, Surabaya, Jawa Timur, di dalam jalan kecil bernama Gang Paneleh VII, Hadji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto bermukim. Di rumahnya bernomor 29-31, ia membuka "pemondokan" di mana sejumlah anak-anak kos sembari menimba ilmu perjuangan. Sejumlah pemuda mengabdikan diri sebagai santri di pondok tersebut, seperti Soekarno, Semaoen, dan Maridjan Kartosoewirjo. Ketiganya sebelum memilih jalan hidup berbeda adalah sahabat satu pondok yang mendapatkan pendidikan karakter dari guru yang sama, Tjokroaminoto, sang pemimpin abadi Sarekat Islam (SI).

Soekarno mendirikan Partai Nasional Indonesia, Semaoen, Alimin, dan Musso menjadi tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI), sedangkan Kartosoewirjo membentuk Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) hingga akhirnya wafat dalam hukuman mati. Tak hanya itu, rumah Tjokroaminoto juga menjadi tempat sejumlah ulama bertukar pikiran, seperti KH Ahmad Dahlan dan KH Mas Mansyur. Di rumah itu pula Soekarno mengagumi KH Ahmad Dahlan.

photo
Rumah HOS Tjokroaminoto di Jalan Peneleh VII No 29, Surabaya, Jawa Timur. Rumah itu kini menjadi museum dan menyimpan sejumlah koleksi yang berhubungan dengan perjalanan sejarah Indonesia, khususnya para pahlawan yang pernah bersentuhan dengan rumah tersebut. - (Antara/Zabur Karuru)

Pria yang oleh Belanda dijuluki De Ongekroonde van Java atau "Raja Jawa Tanpa Mahkota" itu memang menyihir para muridnya lewat buah pikirnya. Ia menjadi salah satu pelopor pergerakan di Indonesia sekaligus guru besar para pemimpin bangsa. Tak heran berangkat dari pemikiran-pemikirannya tersebut, lahir berbagai ideologi bangsa Indonesia pada saat itu.

"Jika kalian ingin menjadi pemimpin besar, menulislah seperti wartawan dan bicaralah seperti orator," ucapan Tjokroaminoto inilah yang membuat salah satu murid kesayangannya, Soekarno terbius hingga saban malam di kamar kosnya, ia berteriak-teriak mempraktikkan ilmu retorikanya sambil berpidato.

Tjokroaminoto memang bukan hanya mengajar, tetapi menjadi inspirasi dan panutan bagi murid-muridnya. "Setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid, sepintar-pintar siasat, menunjukkan integrasi komprehensif antara ilmu akademis, aplikatif, beretika dan bermoral," kata Tjokroaminoto suatu waktu. Bisa dibayangkan, Tjokroaminoto menyiapkan model pendidikan agar murid-muridnya memiliki karakter. Soekarno adalah salah satu yang banyak menyerap pendidikan karakter yang diajarkan Tjokroaminoto.

photo
Foto Presiden pertama RI, Ir Soekarno di Museum HOS Tjokroaminoto di Jalan Peneleh VII No 29, Surabaya, Jawa Timur. - (Antara/Zabur Karuru)

Nama Soekarno masih harum hingga saat ini. Karakter kuatnya sebagai seorang pemimpin bangsa menjadi inspirasi banyak orang. Termasuk Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Mendikbud-Ristek) Nadiem Makariem yang mengaku sosok Bung Karno sebagai penggali Pancasila adalah inspirasinya.

Sejumlah kebijakan yang diambil Nadiem, seperti "Merdeka Belajar" ternyata terinspirasi dari Bung Karno dan tokoh pendidikan Ki Hajar Dewantara. Merdeka Belajar adalah filsafat para pendiri bangsa yaitu kemerdekaan berpikir dan kemerdekaan atas jajahan mental.

"Makanya kita menyebut tujuan dari transformasi pendidikan kita adalah profil pelajar Pancasila," kata Nadiem saat menjadi pengulas dalam acara "Sarasehan Nasional Indonesia Muda Membaca: Bung Karno" yang digelar Megawati Institute, secara virtual, Selasa (10/8). Profil pelajar pancasila yang ditetapkan Nadiem antara lain beriman bertaqwa kepada Tuhan YME, kebhinekaan global, mandiri, kreatif, nalar kritis dan gotong royong.

Cerita-cerita dari kakeknya tentang sosok Bung Karno seperti perannya dalam Konferensi Asia Afrika di Bandung tahun 1955 sampai Proklamasi Kemerdekaan, mendarah daging dan melekat di ingatan Nadiem. "Itu juga yang menjadi landasan dari berbagai macam keputusan saya di dalam hidup ini," ujar Nadiem.

Ada satu pemikiran Bung Karno yang membuat Nadiem kepincut, yakni filsafat marhaenisme, mengenai rakyat kecil, dan potensi rakyat kecil pada saat kita memerdekakan mereka. Di generasi Nadiem, alat instrumen kemerdekaan itu berbeda, bukan revolusi bukan melalui merdeka secara fisik, tetapi kemerdekaan dari ekonomi, kemerdekaan dari keterbatasan.

Lalu Nadiem menceritakan pengalamannya sebelum mendirikan Gojek, ia lebih dulu menggali informasi dari para pengemudi ojek. Tak jarang Nadiem nongkrong di pangkalan ojek hanya untuk berbincang dengan para pengemudinya.

"Baru dengan diskusi itulah saya menemukan dekat dengan rakyat, baru kita menyadari potensi rakyat itu seperti apa," kata mantan pemilik Gojek ini.

Peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Prof Asvi Warman Adam dalam kesempatan terpisah berkata peran serta founding father Soekarno-Hatta dalam sejarah bangsa Indonesia. Fakta tentang kepemimpinan Dwitunggal masa awal Republik Indonesia berdiri, Soekarno-Hatta selalu bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan hingga keduanya memimpin bangsa ini.

Tidak ada proklamasi kemerdekaan tanpa Bung Karno. Tidak ada proklamasi kemerdekaan tanpa Bung Hatta. "Tidak ada proklamasi kemerdekaan tanpa Bung Karno dan Bung Hatta," kata Prof Asvi.

Semangat perjuangan Bung Karno dikisahkan salah satu putrinya yang juga Presiden Kelima RI, Megawati Soekarno Putri. Megawati yang lahir tahun 1947 mengalami sedikit masa perjuangan kemerdekaan RI, sehingga ia menanamkan dalam diri pentingnya semangat juang.

"Saya mengatakan bahwa salah satu yang penting buat anak muda, jangan lupa jadi diri kalian," kata Megawati "Sarasehan Nasional Indonesia Muda Membaca: Bung Karno" yang digelar Megawati Institute, secara virtual, Selasa (10/8).

Jadi di mata Megawati, sangat mudah para pemuda menemukan jati dirinya. "Jangan lupa sejarah bangsa," kata Megawati. Dalam usianya yang ke-74 tahun pun, Megawati tetap memegang teguh fighting spirit. Tak heran Megawati mengajak milenial menggandeng rakyat-rakyat kecil agar bisa mandiri.

Penghargaan besar memang seharusnya diberikan pemerintah kepada para pejuang dan founding father Indonesia yang secara ikhlas mengabdikan diri dan tanpa pamrih berjuang untuk Indonesia merdeka. Perjuangan para founding father juga bisa menjadi contoh teladan bagi generasi muda tentang bagaimana perjuangan mereka bukan hanya menggunakan pikiran dan tenaga, tetapi juga dengan pengorbanan nyawa.

Pendidikan karakter yang bisa ditiru founding father adalah sikap pantang menyerah, ulet, disiplin, berjuang sampai bangsa ini merdeka. "Satu tujuannya adalah bagaimana para pejuang memerdekakan bangsa ini dari belenggu penjajahan," kata Pengamat pendidikan dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, Prof Cecep Darmawan saat berbincang dengan Republika.co.id via sambungan WhatsApp.

Anak muda dikatakan Prof Cecep juga bisa belajar dari pemilihan kalimat yang sangat bagus dalam Pembukaan UUD 1945 yang berbunyi, 'Berkat rahmat Allah dan keinginan yang luhur'. Berkat rahmat Allah menurut Prof Cecep adalah mencerminkan tekad keimanan yang kuat dari para pejuang. "Sementara keinginan yang luhur mencerminkan semua berjuang dengan keikhlasan tanpa pamrih," ucap dia.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement