Ahad 15 Aug 2021 11:47 WIB

Kesepian Jadi Penyakit Mental Selama Pandemi

Survei kesehatan mental mengungkapkan bahwa responden di Indonesia mengalami kesepian

Rep: Idealisa Masyrafina/ Red: Dwi Murdaningsih
Ilustrasi Kesepian
Foto: pixabay
Ilustrasi Kesepian

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebuah survei kesehatan mental baru-baru ini mengungkapkan bahwa para responden di Indonesia cenderung merasa kesepian selama pandemi. Responden juga merasa  ingin melukai diri sendiri.

Ini merupakan hasil survei Into The Light dan Change.org mengenai kesehatan mental masyarakat Indonesia pada Mei-Juni 2021 yang bertepatan dengan Bulan Kesehatan Mental. Andrian Liem, peneliti pascadoktoral University of Macau sekaligus mitra Into The Light mengatakan, survei ini dilakukan karena di Indonesia karena belum ada hasil evaluasi yang cukup komprehensif atas informasi dan layanan kesehatan mental, maupun literasi kesehatan mental yang dimiliki. 

Baca Juga

Into The Light sendiri adalah sebuah komunitas yang punya misi utama untuk mencegah bunuh diri remaja di Indonesia. Survei kesehatan mental ini diikuti secara daring oleh 5.211 responden yang mayoritas berdomisili di 6 provinsi di Pulau Jawa. 

Berdasarkan hasil survei tersebut, stigma atau pandangan negatif terhadap bunuh diri masih sangat kuat. Hal ini tercermin dari tidak ada partisipan yang menjawab seluruh pertanyaan tentang fakta dan mitos bunuh diri dengan benar.

“Misalnya saja partisipan menganggap bahwa menanyakan keinginan bunuh diri  kepada seseorang akan memicu keinginan bunuh diri sebagai fakta. Padahal ini adalah mitos, justru menanyakan hal tersebut dapat membantu mencegah keinginan orang untuk bunuh diri,” kata Andrian, dalam rilis yang diterima Republika.co.id, Jumat (13/8).

Selain itu, ada hasil survei yang cukup mengkhawatirkan. Sekitar 98 persen partisipan merasa kesepian dalam sebulan terakhir, dan 40 persen memiliki pemikiran melukai diri sendiri maupun berpikir untuk bunuh diri dalam dua minggu terakhir.

Lebih banyak partisipan survei meyakini anggota keluarga dan teman dekat berjenis kelamin sama sebagai sosok yang lebih membantu dalam mengatasi masalah kesehatan jiwa dibandingkan dengan tenaga kesehatan jiwa profesional.

"Keyakinan ini menunjukkan partisipan membutuhkan dukungan sosial. Tetapi perlu diingat bahwa tenaga kesehatan jiwa profesional lebih memiliki keahlian dalam menangani kesehatan mental dan dapat menjaga rahasia klien yang berkonsultasi," jelas Andrian menanggapi hasil survei tersebut.

Hal ini juga selaras dengan hasil survei yang menemukan bahwa hampir 70 persen dari total partisipan mengaku tidak pernah mengakses layanan kesehatan mental dalam tiga tahun terakhir. Alasan yang dominan adalah biaya layanan kesehatan mental dianggap tidak terjangkau.

Walau biaya konsultasi untuk kesehatan jiwa bagi pemilik kartu BPJS dapat ditanggung dengan gratis, hasil survey mengungkap 7 dari 10 partisipan tidak tahu tentang informasi ini. Hasil temuan lain adalah hampir 70 persen partisipan yang pernah mengakses layanan kesehatan mental berkonsultasi secara daring (online).

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement