REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bangunan universitas dan rumah sakit Yayasan YARSI terlihat megah di jalan Letnan Jenderal Suprapto, Cempaka Putih Jakarta Pusat. Gedung setinggi 16 lantai tersebut tampak gagah dibanding bangunan di sekitarnya.
Universitas Yarsi memiliki cerita panjang sejak awal berdiri hingga saat ini. Awalnya, pendirian kampus itu berangkat dari masalah usaha untuk memenuhi kebutuhan tenaga dan pelayanan medis secara Islam di Indonesia.
Ketua Umum Yayasan Yarsi Prof Jurnalis Uddin bercerita bahwa awalnya kampus itu hanya berdiri sebagai Perguruan Tinggi Kedokteran (PTK) Yarsi pada 15 April 1967 dengan satu program studi kedokteran. Dua tahun berikutnya, berubah nama jadi Sekolah Tinggi Kedokteran (STK) Yarsi.
Prof Jurnalis bercerita, pada ajang konferensi mengenai Islam di Jakarta sekitar 1965, salah satu pesertanya sakit hingga mesti dilarikan ke rumah sakit. Akan tetapi peserta konferensi itu menolak dirawat karena RS yang dituju yaitu RS Katolik.
Dari situ Prof Jurnalis menyimpulkan bahwa ada kebutuhan lembaga pendidikan kedokteran dan rumah sakit yang dikelola lembaga Islam di Ibu Kota yang belum terpenuhi. Karenanya, dia pun kemudian bermimpi STK Yarsi dapat memberi kesempatan calon mahasiswa memperoleh pendidikan kedokteran dengan bekal iman Islam.
Akan tetapi, rencana Prof Jurnalis tak berjalan mulus. Rekan-rekannya sulit menerima ide yang ditawarkan. Bahkan sebagian menganggap ide tersebut sangat sulit terealisasi karena biaya yang mahal.
"Waktu lihat belum ada fakultas Kedokteran Islam di Jakarta, maka saya ajak kawan-kawan. Jawabannya, 'mana bisa?', karena biayanya besar. Kalau soal uang, tergantung yang di atas. Kita harus ada wadahnya dulu," kenang Prof Jurnalis saat berbincang dengan Republika pada Senin (9/8).
Hingga akhirnya tiga dosen Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), yaitu Ali Akbar, Asri Rasad, dan Maksum Saleh Nasution sepakat membantu Prof Jurnalis yang juga mengajar di tempat yang sama. Karena ini pula STK YARSI dan FKUI memiliki hubungan tersendiri.
Bahkan pengembangan STK Yarsi pun tak lepas dari dukungan FKUI. Bentuk dukungannya berupa pemakaian semua ruang kuliah dan laboratorium beserta peralatannya. Kondisi ini berlangsung sampai 1970-1971 saat gedung kampus Yarsi dibangun.
Prof Jurnalis mengakui kalau dana terbukti menjadi tantangan dalam mendirikan Yarsi. Dia bahkan sempat tak punya dana untuk membangun kampus yang sudah dirancang. Tapi rasa optimisme Prof Jurnalis mementahkan kesulitan itu satu per satu.
Prof Jurnalis tak menyangka bahwa bantuan akan datang dari mana saja. Bahkan dari orang yang tak begitu dikenalnya. Dia juga mengungkapkan sempat menjual aset pribadi dan milik istri demi memenuhi kekurangan dana Yarsi. "Allah SWT selalu menunjukkan berbagai cara yang tidak terduga untuk memberi jalan keluar," ungkap pria kelahiran 10 Juli itu.
Prof Jurnalis dengan bangga mengisahkan peletakan batu pertama pembangunan Yarsi dilakukan Tien Soeharto dan Fatmawati Soekarno pada 15 April 1968 yang merupakan hari jadi PTK Yarsi. Peristiwa ini menjadi tonggak penting karena menandakan keseriusan Yarsi.
Dulu, tambah dia, lahan seluas 2,5 hektare yang kini ditempati Yarsi merupakan sawah dengan ketinggian dua meter di bawah permukaan jalan raya. Sehingga tak ada yang melirik potensi lahan di sana. Tapi Prof Jurnalis berpikir jauh ke depan. Benar saja, pilihan lahan tak salah karena letaknya strategis dan harganya telah melambung jauh saat ini.
Proses pematangan lahan sawah hingga siap dibangun terjadi berkat kecerdikan dan kejelian Prof Jurnalis. Dia memanfaatkan lumpur dari proyek pencegahan banjir Jakarta untuk mengurug sawah secara gratis. Kemudian Yarsi mendapat pemborong untuk pengerjaan beberapa gedung sementara dan ruang kerja walau tanpa kontrak.
"Saya lihat ke depannya di sini lebih baik posisinya. Karena ada di depan," ujar dokter berusia 84 tahun itu.
Di sisi lain, Prof Jurnalis menyadari dunia medis terus berkembang seiring kemajuan teknologi. Dia pun tak ingin Yarsi ketinggalan hingga turut fokus pada penelitian. Salah satunya penelitian mengenai genetik.