Senin 16 Aug 2021 12:03 WIB

Ini Alasan Presiden Jokowi Kenakan Pakaian Baduy Menurut KSP

Presiden tampak mengenakan pakaian adat Suku Baduy berwarna hitam,

Red: Teguh Firmansyah
Presiden Joko Widodo memberi salam saat menyampaikan pidato kenegaraan pada Sidang Tahunan MPR Tahun 2021 di Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (16/8/2021).
Foto: Antara/Sopian/Pool
Presiden Joko Widodo memberi salam saat menyampaikan pidato kenegaraan pada Sidang Tahunan MPR Tahun 2021 di Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (16/8/2021).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Joko Widodo mengenakan pakaian adat suku Baduy saat menghadiri sidang tahunan MPR 2021, di kompleks parlemen, Jakarta, Senin (16/8).  Kantor Staf Presiden menilai Presiden Jokowi telah menepis stigma negatif terhadap Suku Baduy dengan mengenakan pakaian adat tersebut.

"Presiden mengangkat ke tingkat paling tinggi di salah satu acara kenegaraan. Hal ini dapat dimaknai sebagai cara presiden untuk menghentikan stigma dan makna negatif dari penyebutan Suku Baduy," kata Deputi II Kantor Staf Presiden (KSP) Bidang Pembangunan Manusia Abetnego Tarigan dalam siaran pers KSP, di Jakarta, Senin.

Baca Juga

KSP menganggap bahwa langkah Presiden untuk memakai pakaian adat dan mengangkat kebudayaan Suku Baduy dalam acara kenegaraan ini merupakan suatu inisiatif yang baik dalam menekankan kebhinekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Presiden tampak mengenakan pakaian adat Suku Baduy berwarna hitam dengan lencana merah putih. Presiden juga mengenakan udeng kepala berwarna biru, alas kaki sandal berwarna hitam lengkap dengan tas rajut berwarna cokelat.Pakaian adat ini disiapkan secara pribadi oleh Tetua Adat Masyarakat Baduy sekaligus Kepala Desa Kanekes, Jaro Saija.

Presiden Jokowi pun mengatakan bahwa desain pakaian adat Baduy sangat sederhana dan sangat nyaman untuk dikenakan.Abetnego menyampaikan sebutan Baduy sendiri merupakan sebutan yang disematkan oleh penduduk luar kepada kelompok masyarakat adat sub-Sunda yang tinggal di wilayah Lebak, Banten.

Baca juga : Pidato Negara, Jokowi: Indonesia Berhasil Keluar dari Krisis

Namun, penyebutan Suku Baduy cenderung mengarah pada makna peyoratif karena kaitan sejarahnya sebagai produk era kolonial Belanda. Para kolonial, kata dia, secara gegabah mengidentifikasi Suku Baduy layaknya suku Badawi di tanah Arab yang hidup secara nomaden dan dianggap liar.

Menurutnya, walaupun kelompok masyarakat ini menyebut dirinya sebagai Urang Kanekes, namun dalam perkembangannya, istilah Baduy kini tidak lagi bersifat peyoratif karena penyebutannya oleh banyak orang tanpa ada niatan untuk merendahkan.

Direktur Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) Hilman Farid mengatakan istilah Baduy dilekatkan pada mereka oleh orang luar dan terus berlanjut sampai sekarang.Hilman mengatakan istilah Baduy digunakan tidak dengan maksud merendahkan. "Saya pun kadang pakai istilah 'Baduy' karena sangat sering digunakan dan tidak dengan maksud merendahkan," ujar Hilman Farid.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement