REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Rivanlee Anandar menanggapi terkait tindakan polisi yang menghapus mural yang berisi kritikan terhadap pemerintah di berbagai wilayah. Tindakan itu dinilai mengancam kebebasan sipil dalam berpendapat.
"Negara gagal menangkap keresahan publik. Reaktifnya negara dalam merespons ekspresi publik menunjukkan bahwa mereka tidak memerhatikan kondisi masyarakat di lapangan. Lalu, jika mereka melakukan penangkapan terhadap pembuat mural jelas mengancam kebebasan sipil," katanya saat dihubungi Republika.co.id, Senin (16/8).
Ia melanjutkan, mural adalah salah satu bentuk ekspresi dari keresahan atas penanganan pandemi selama ini. Sehingga jika kepolisian bertindak untuk menangkap pembuat mural dan menghapusnya, itu dinilai berlebihan.
"Ya berlebihan sikap polisi jika menindak pembuat mural. Mereka (pembuat mural) hanya menyampaikan pendapatnya saja kan. Jadi, tidak usah ditindak lebih jauh," kata dia.
Salah satu mural yang dihapus terdapat di Bangil, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur pada Sabtu (14/8). Mural itu bergambar karakter dua ekor hewan yang menyerupai kucing dengan dibubuhi tulisan "Dipaksa Sehat di Negeri yang Sakit".
Selama beberapa hari, mural tersebut terpampang di salah satu tembok rumah kosong. Namun, pihak kecamatan setempat menghapus mural tersebut atas arahan dari Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP).
Penghapusan mural juga terjadi di daerah lain. Mural bergambar wajah orang mirip Presiden Joko Widodo itu berada di kawasan Batuceper, Kota Tangerang Banten. Pada mural tersebut, mata Jokowi ditutupi tulisan "404: Not Found". Aparat gabungan lantas menutup mural tersebut dengan cat hitam.
Kasus lainnya adalah grafiti bertuliskan "Tuhan Aku Lapar" yang terpampang di sebuah tembok di Tigarkasa, Kabupaten Tangerang. Kalimat tersebut ditulis dengan huruf balok berukuran besar di sebuah tembok pinggir jalan. Tidak berselang lama, grafiti ini juga dihapus oleh aparat kepolisian setempat dengan cat hitam.