REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Amerika Serikat telah mengakhiri operasinya selama 20 tahun di Afghanistan. Selama kurun waktu tersebut, AS dilaporkan telah menggelontorkan 2,26 triliun dolar AS di Afghanistan.
Jumlah ini setara sekitar 18 kali pendapatan RI pada APBN 2021 sebesar Rp 1.743,6 triliun/124,5 miliar dolar AS (kurs Rp 14 ribu/dolar AS).
Seperti dilansir Aljazirah, Senin (17/8), laporan biaya perang ini disampaikan the Cost of War Project di Brown University. Dari jumlah itu sekitar 1 triliun dolar AS dipakai untuk anggaran Kontingensi Luar Negeri di Departemen Pertahanan. Tak kalah besar yakni pembayaran bunga sebesar 530 miliar dolar atas uang yang dipinjam untuk membiayai perang.
Namun ironisnya, kondisi ekonomi Afghanistan justru menjadi salah satu yang terkecil di dunia. Tahun lalu, Presiden Ashraf Ghani mengatakan, 90 persen populasi di negara tersebut hanya hidup di bawah dua dolar AS per hari.
Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden tetap menegaskan keputusannya untuk menarik pasukan AS dari Afghanistan. Dia menolak kritik luas atas penarikan pasukan yang kacau sehingga menimbulkan krisis.
"Saya berdiri tegak di belakang keputusan saya. Setelah 20 tahun, saya telah belajar dengan cara yang sulit bahwa tidak pernah ada waktu yang tepat untuk menarik pasukan AS. Itu sebabnya kami masih di sana," kata Biden dalam pidatonya di Gedung Putih.
Biden menyalahkan pengambilalihan Afghanistan oleh Taliban pada para pemimpin politik Afghanistan yang melarikan diri dari negara itu. Dia menyatakan, kondisi jatuhnya Kabul pun berasal dari keengganan tentara Afghanistan untuk memerangi kelompok militan.
"Yang benar adalah, ini terungkap lebih cepat dari yang kami perkirakan. Jadi apa yang terjadi? Para pemimpin politik Afghanistan menyerah dan melarikan diri dari negara itu. Militer Afghanistan menyerah, terkadang tanpa berusaha untuk melawan," kata Biden.
Taliban telah menguasai ibu kota Kabul pada Ahad lalu. Presiden Afghanistan Ashraf Ghani melarikan diri dengan alasan untuk menghindari pertumpahan darah.