REPUBLIKA.CO.ID,PARIS -- Undang-undang (UU) anti-separatisme Prancis akan memungkinkan negara lebih banyak kelonggaran untuk menargetkan Muslim. Hal ini diperingatkan oleh seorang jurnalis Prancis Fateh Kimouche pada Senin (16/8).
Kimouche yang menjadi pendiri situs Al Kanz, yang berfokus pada Islam dan isu-isu terkait Muslim, menyebutkan bahwa Presiden Prancis, Emmanuel Macron menderita kekeliruan Islamofobia, di mana ia tidak dapat membedakan antara teroris dan Muslim.
Ia berpendapat bahwa Macron memilih untuk menghukum Islam setelah serangkaian insiden teror yang dilakukan oleh teroris ISIS di negara itu. Kemudian dia menekankan bahwa undang-undang tersebut dirancang untuk menghadapi Muslim, bukan teroris.
Dia menarik perhatian pada UU tersebut, yang telah mengakibatkan meningkatnya wacana Islamofobia di media arus utama dan media sosial, serta corengan tulisan di dinding masjid dan walikota memecat para imam.
"Sekarang, negara memiliki ruang bebas untuk menyerang Muslim, bisnis atau institusi keagamaan mana pun yang dioperasikan Muslim dengan dalih menghormati prinsip-prinsip republik, yang didasarkan pada prinsip-prinsip samar-samar," kata dia dilansir dari laman Anadolu Agency pada Selasa (17/8).
Sementara itu, banyak media internasional termasuk Financial Times dan New York Times, dan organisasi seperti Amnesty International dan Human Rights Watch (HRW) telah banyak mengkritik undang-undang tersebut. Dia mencatat bahwa reaksi terhadap undang-undang tersebut semakin membuat marah Macron.
Adapun Rancangan Undang-Undang (RUU) itu disahkan oleh Majelis Nasional bulan lalu, meskipun ada tentangan kuat dari anggota parlemen sayap kanan dan kiri.
Pemerintah mengklaim bahwa undang-undang tersebut dimaksudkan untuk memperkuat sistem sekuler Prancis. Akan tetapi para kritikus percaya bahwa undang-undang itu membatasi kebebasan beragama dan meminggirkan umat Islam.
RUU tersebut telah dikritik karena menargetkan komunitas Muslim Prancis, yang terbesar di Eropa, dengan 3,35 juta anggota. Itu juga memberlakukan pembatasan pada banyak aspek kehidupan anggotanya.
Undang-undang mengizinkan pejabat untuk campur tangan di masjid dan asosiasi yang bertanggung jawab atas administrasi mereka. Selain itu juga mengontrol keuangan asosiasi dan LSM yang berafiliasi dengan Muslim.
Ini juga membatasi pilihan pendidikan Muslim, dengan membuat 'homeschooling' tunduk pada izin resmi.
Berdasarkan undang-undang, pasien dilarang memilih dokter mereka berdasarkan jenis kelamin karena alasan agama atau alasan lain, dan pendidikan sekularisme telah diwajibkan bagi semua pegawai negeri.
Di samping itu, Prancis telah dikritik oleh organisasi internasional dan LSM, terutama PBB, karena menargetkan dan meminggirkan Muslim dengan hukum.